BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam keseharian kita,
kita telah terbiasa menyebutkan suku Jawa adalah untuk mengidentifikasi suku
yang berasal dari Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur. Sedangkan suku yang
berasal dari Jawa Barat tidak termasuk ke dalam suku Jawa, meskipun sebenarnya
mereka berasal dari Pulau Jawa.
Suku Jawa (Jawa ngoko : wong Jowo, krama : tiyang
Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia
merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak
bermukim di Lampung, Kalimantan, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa
Barat suku Jawa banyak dijumpai di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Di luar
negeri, suku Jawa juga mendominasi di Malaysia, Singapura dan Suriname. Suku
Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Suku Jawa sebagai bagian
dari kelompok sosial sejak zaman nenek moyang berabad-abad yang lalu sudah berinteraksi
dengan kelompok masyarakat dari suku bangsa lain, sehingga terjadilah masyarakat
yang multikultural.
Sebagaimana lazimnya,
setiap suku bangsa memiliki kekhasan tersendiri. Sebagai perawat, sudah
seharusnya membekali diri dengan pengetahuan akan karakteristis suatu suku,
sehingga akan mempermudah perawat dalam berinteraksi dengan klien.
Dosen pengampu Mata
Kuliah Ilmu Sosial Dasar menugaskan kepada mahasiswa untuk membuat suatu
Makalah mengenai adat istiadat, kebiasaan serta karakteristik suatu suku bangsa
dalam hal ini suku Jawa.
1.2.
Tujuan Penulisan
a. Memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
b. Perawat dalam melakukan suatu proses keperawatan terhadap
klien yang bersuku bangsa jawa, agar dapat menggunakan pendekatan secara
kultural.
1.3.
Manfaat Penulisan
a. Pembaca khususnya perawat dapat mengetahui dan mengenal
akan adat istiadat, kebiasaan, kultur dan karakteristik suku Jawa.
b. Pendekatan yang dilakukan secara kultural terhadap klien
akan dapat lebih mendekatkan klien dengan perawat, sehingga tujuan dalam sutu
proses keperawatan akan lebih mudah dicapai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geografi
|
Jawa adalah sebuah pulau
di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk
terpadat di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di
dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia,
Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di
pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha,
kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Jawa adalah pulau yang
sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas
terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung
berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini.
Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan
bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia,
dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk
adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun
kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam
aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
Pulau ini secara
administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI
Yogyakarta.
Jawa bertetangga dengan
Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal
di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang
mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera
Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.
Jawa memiliki luas
sekitar 139.000 km2. Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang
600 km. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi
Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya
di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.
Hampir keseluruhan
wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat
tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang
kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung
berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung
berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968
m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah
pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok
untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu
yang tersubur di dunia. Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia,
yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi
Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.
Suhu rata-rata sepanjang
tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah
pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di
musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara,
dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal
pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun
di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun
sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan
bulan Januari dan Februari.
2.2. Sejarah
Pulau ini merupakan
bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa
sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan
di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut
berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs
prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di
pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang
lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan
Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa
Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli
Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan
Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban
Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M
Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir
utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan
Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat
subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di
lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang
semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah
kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi
di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah
interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh
luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan
kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama perhubungan
masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai
Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh,
sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari
kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu
sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta
pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan
abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut,
musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula
penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus.
Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antar penduduk pulau Jawa pada masa itu
adalah sulit.
Masa kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Taruma dan
Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan ke-7.
Sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa
Tengah pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja
Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa
yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang
Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan
mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain Borobudur dan
Prambanan di Jawa Tengah.
Sekitar abad ke-10,
pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur
berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama
mengandalkan pada pertanian padi, namun juga mengembangkan perdagangan antar
kepulauan Indonesia beserta Cina dan India.
Raden Wijaya mendirikan
Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya di masa pemerintahan Hayam Wuruk
(m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan Indonesia,
meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura saja.
Gajah Mada adalah mahapatih di masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak
penaklukan teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya
mendasarkan kekuasaan mereka pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai
pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di
Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan
mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.
Masa kerajaan Islam
Pada akhir abad ke-16,
Islam telah melampaui Hindu dan Buddha sebagai agama dominan di Jawa, melalui
dakwah yang terlebih dahulu dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini. Dalam
masa ini, kerajaan-kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Banten membangun
kekuasaannya.
Kesultanan Mataram pada
akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian tengah dan
timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah
kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa
ketika datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17.
Masa kolonial
Hubungan Jawa dengan
kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya
perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan
perjanjian tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka
dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun
1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia. Pada akhir abad
ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap
kesultanan-kesultanan di pedalaman pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur
Belanda di Indonesia). Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani,
konflik internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam
melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan,
dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara
mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup
administrasi kolonial.
Di awal masa kolonial,
Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-pulau
penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan
beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Inggris sempat
menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan
Britania Raya, dengan Sir Stamford
Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814, Inggris
mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada Traktat Paris.
Penduduk pulau Jawa
kemungkinan sudah mencapai 5 juta orang pada tahun 1815. Pada paruh kedua abad
ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang
pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami
pertumbuhan populasi yang cepat. Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk
yang besar antara lain termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu
dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area
persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti singkong dan
jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu
membeli beras. Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan
semakin meluasnya perekutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para
pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan
jumlah anggota keluarga yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah.
Pada masa kolonial
Belanda, banyak penduduk Jawa di bawa ke Suriname untuk dijadikan budak. Hingga
saat ini keturunan mereka dikenal sebagai Jawa Suriname. Jumlah mereka mencapai
17,8 % (sensus penduduk 1990).
Pada tahun 1820, terjadi
wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.
Kehadiran truk dan
kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya
menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi
yang lebih teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung
terhapusnya kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan
penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak tahun
1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an. Selain itu,
menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan bertambahnya
jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak.
Masa kemerdekaan
Nasionalisme Indonesia
mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat Kebangkitan Nasional
Indonesia), dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang
Dunia II juga berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan
anti-komunis selanjutnya pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau
ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di
Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998
terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan
salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama
sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32
tahun.
Pada tahun 2006, Gunung
Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga
sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana
semburan lumpur panas Sidoarjo.
2.3. Bahasa
dan Tulisan
Suku bangsa Jawa
sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah
survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih
hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka
sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur,
dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki
aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara
dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh.
Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan
membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Tiga bahasa utama yang
dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura.
Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek
lokal bahasa Melayu di wilayah Jakarta), bahasa Osing dan bahasa Tengger (erat
hubungannya dengan bahasa Jawa), bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa
Sunda), bahasa Kangean (erat hubungannya dengan bahasa Madura), bahasa Bali,
dan bahasa Banyumasan. Sebagian besar besar penduduk mampu berbicara dalam
bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa kedua mereka.
Bahasa Jawa digolongkan
tas dua tingkatan :
a. Bahasa Ngoko, biasa
digunakan dalam pergaulan sehari-hari.
b. Bahasa Kromo, digukana
dalam percakapan dengan orang yang lebih tua atau dihormati, serta digunakan
dalam istana dan pewayangan.
Huruf Jawa, menurut
sejarahnya diciptakan oleh seorang satria pinanditha yang bernama Aji Saka. Ia
menciptakan sebuah sajak menggunakan huruf yang kini dinamakan huruf Saka. Penanggalan
kalender Jawa juga dinamakan Tahun Saka.
2.4. Kependudukan
Dengan populasi sebesar
136 juta jiwa. Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57%
populasi Indonesia. Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km², pulau ini juga menjadi
salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk
Indonesia berasal dari etnis Jawa. Walaupun demikian sepertiga bagian barat
pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih
dari 1.400 jiwa/km2.
Sejak tahun 1970-an
hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan
program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau
lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun
terkadang menghasilkan konflik antara transmigran pendatang dari Jawa dengan
populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur banyak pula terdapat penduduk dari
etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan hubungan bersejarah antara
Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan wilayah sekelilingnya sebagai daerah
metropolitan yang dominan serta ibukota negara, telah menjadi tempat
berkumpulnya berbagai suku bangsa di Indonesia.
2.5. Karakteristisk
Etnis, Seni, Sosial dan Budaya
Mitos asal-usul pulau
Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin, bernama
Tangtu Panggelaran. Komposisi etnis di pulau Jawa secara relatif dapat dianggap
homogen, meskipun memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau
besar lainnya di Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini,
yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Etnis Madura dapat pula dianggap sebagai
kelompok ketiga; mereka berasal dari pulau Madura yang berada di utara pantai
timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke Jawa Timur sejak abad
ke-18. Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini,
sedangkan orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%.
Empat wilayah budaya
utama terdapat di pulau ini: sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah,
budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di
bagian barat, dan budaya Osing (blambangan) di bagian timur. Budaya Madura
terkadang dianggap sebagai yang kelima, mengingat hubungan eratnya dengan
budaya pesisir Jawa. Kejawen dianggap sebagai budaya Jawa yang paling dominan.
Aristokrasi Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga merupakan
wilayah asal dari sebagian besar tentara, pebisnis, dan elit politik di
Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang berlaku di wilayah ini dianggap
yang paling halus dan merupakan panutan masyarakat Jawa. Tanah pertanian
tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari Banyumas
di sebelah barat hingga ke Blitar di sebelah timur.
Dalam keseharian kita,
kita telah terbiasa menyebutkan suku Jawa adalah untuk mengidentifikasi suku
yang berasal dari Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur. Hal ini kemungkinan
besar dikarenakan kebiasaan mereka dapat dikatakn hampir mirip. Sedangkan suku
yang berasal dari Jawa Barat tidak termasuk ke dalam suku Jawa, meskipun
sebenarnya mereka berasal dari Pulau Jawa. Mereka biasa disebut suku Sunda.
|
Pendopo
Agung yang berbentuk ”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang
luas dengan ditopang 4 (empat) Soko guru
(tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco
dan 20 (dua puluh) Soko Rowo.
Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan
fungsinya sebagai tempat menerima tamu.
Bangunan
Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas.
Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo
Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro Gepak”.
Karakteristik Prilaku Suku Jawa
|
Masyarakat Jawa dikenal
menjaga nilai-nilai rukun, saling menghormati dan melibatkan kebudayaan yang
berbgai macam, yaitu menekankan pentingnya kelompok sebagai sumber dukungan dan
bimbingan dalam bertingkah laku. Tentunya hal itu memberikan pengaruh yang
sangat kuat dalam berperilaku. Tentunya hal itu memberikan pengaruh yang sangat
kuat dalam berperilaku. Masyarakat keseluruhan mengutamakan sifat saling
tergantung dalam jaringan hubungan sosial serta kemampuan menyesuaikan diri
dengan kelompok dan cenderung merendahkan diri. Budaya merendahkan diri
terlihat dalam tutur kata misalnya ”Monggo
mampir wonten gubug kulo” yang sesungguhnya mempersilakan orang singgah
dirumahnya. Dari kalimat itu,kesan yang muncul bahwa rumah yang ditempati
sangat sederhana sekalipun terkadang lebih bagus dari sebuah gubug (rumah-rumahan
di sawah). Hal ini tidak terlepas dari nilai hormat dan rukun yang menjadi
prinsip dalam membangun interaksi sosial masyarakat khususnya suku masyarakat
Jawa
Masyarakat Jawa tidak
menonjolkan milik pribadi karena tidak ingin meninggikan diri sendiri yang
dianggap sebagun dengan sombong dan tidak menghormati orang lain dan lebih suka
bersifat andhap asor.
Masyarakat Jawa
menekankan nilai-nilai rukun dan hormat dengan cara merendahkan diri untuk
meninggikan diri. Dengan merendahkan diri sama halnya memberi hormat kepada
orang lain dan dengan begitu orang lain pun akan menghormati dirinya. Dalam
kehidupan saling enghormati dan rukun ini tercipta suasana yang harmonis dan
bukan saling bersaing untuk menonjolkan kemampuanya atau apapun yang dimiliki.
Orang yang mertendahkan diri secara tidak langsung menjaga hubungan sosial
dalam kelompok. Untuk itu karakteristik perilaku budaya Jawa ini wajib kita
jaga sebagai suku Jawa maupun tidak.
Sebagian masyarakat kita
berpendapat, bahwa dalam mengambil keputusan, orang Jawa itu lamban. Tidak
cepat bertindak. Penakut. Maka setiap masalah yang dihadapi menjadi
berlarut-larut. Yang lebih celaka, masalah lama belum terselesaikan, muncul
masalah baru! Maka situasi dan kondisi permasalahan semakin ruwet-runyam.
Benarkah sifat orang
Jawa itu lamban? Kebudayaan Jawa adalah heterogen, maka watak dan tabiat
mayarakatnya pun beragam. Ada yang kalem, ada yang cekatan, ada yang rajin, ada yang polos, ada yang
halus, ada yang berangasan, ada yang jahat ada yang baik, ada yang
berbelit-belit, ada yang sombong, ada yang rendah hati, ada yang terbelakang,
ada yang modern, ada yang peduli, ada yang cuek, ada yang mengelompok, ada yang
menyendiri, dan sebagainya (Drs.Imam Suradjo, M.Hum/Kajian Budaya Jawa/Jurusan
Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS/2008). Ragam watak atau tabiat
wong Jawa itu komplit. Oleh sebab itu watak orang Jawa tidak bisa disamaratakan
(digebyah-uyah).
Orang Jawa itu berbudaya
satu. Mereka berpikir dan berasa seperti nenek moyangnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur; dengan Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaannya.
Seiring dengan zamannya, maka bahasa, budaya, dan gaya hidup wong Jawa juga
mengalami proses asimilasi dan akulturasi.
Asimilasi dan akulturasi adalah fenomena budaya, kapan pun dan di mana
pun. Dalam era globalisasi unsure-unsur bahasa, budaya, dan gaya hidup, saling
mempengaruhi; saling memberi dan menerima. Pihak yang kuat, biasanya menjadi
pihak yang memberi (Marbangun/1984).
Akibat globalisasi,
orang Jawa semakin tersebar ke penjuru dunia. Maka bahasa, budaya, serta gaya
hidup, semakin ikut mendunia. Dan ini tentu saja, sedikit atau banyak, ikut
memberi warna baru kepada perilaku, adab, dan tabiat orang Jawa dan
keturunannya.
Sejarah nasional
mencatat, sejak dulu, jumlah suku bangsa Jawa terbesar di Indonesia. Bahkan,
bahasa Jawa menduduki urutan ke-11 terbesar pada deretan bahasa dunia (Drs.
Imam Sutardjo, M.Hum/2008). Pengguna bahasa Jawa tercatat 75,5 juta orang, dari
penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 320 jiwa.
Sejarah purbakala pun
mencatat, budaya Jawa sudah cukup tua dan tinggi. Sampai sekarang pun
dokumentasi tertulis sastra-budaya Jawa kuno, masih tersimpan baik di
museum-museum. Dari semua dokumen tertulis tersebut dapat dibuktikan bahwa
manusia Jawa beberapa abad yang lalu telah memiliki kehidupan yang relatif
mapan. Sejumlah candi dan patung kuno yang tersebar di pulau Jawa sebagai bukti
secara faktual dan visual.
Namun demikian, semua
warisan budaya tersebut, termasuk ilmu mencapai kehidupan manusia yang jaya dan
mulia, jika tidak dilaksanakan, pastilah tak akan ada hasilnya. Ilmu-ilmu
tinggi tetap menjadi dokumentasi mati di rak-rak buku yang berdebu, sunyi-sepi
sendir i. Ngelmu iku kelakone kanthi
laku, kata pujangga.
Perasaan Orang Jawa
Perasaan orang Jawa
(tradisional-asli) dapat dibedakan atas : aji,
pakewuh, ajrih, lingsem, isin.
Aji adalah
rasa hormat kepada orang yang lebih tinggi derajatnya, pangkatnya, martabatnya.
Tidak cuma hormat, bahkan ada yang bercampur rasa kagum.
Pakewuh (basa
krama-nya : pakewet) adalah perasaan
malu ketika dia harus berhubungan, bergaul, bercampur, bertemu, apalagi minta
tolong, kepada orang yang derajat dan pangkatnya lebih tinggi.
Ajrih adalah
perasaan malu (bercampur takut) disebabkan karena dirinya merasa telah
bersalah, atau telah melakukan sesuatu yang kurang baik, kepada seseorang.
Rasa senang (krama : remen) adalah perasaan senang, enak,
nyaman, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang lain yang sederajat.
Tresna adalah
rasa senang, cinta, simpati, saat bertemu, bergaul, dengan orang lain, yang
biasanya telah akrab.
Gething adalah
rasa benci. Biasanya benci disebabkan oleh sifat-sifat buruk seseorang,
sehingga dia menjauhi orang tersebut. Jadi jelas, budaya Jawa (bukan orang
Jawa) memiliki budaya malu.
Jika bertemu dengan
orang yang belum dikenal, maka ada dua kemungkinan. Pertama : orang Jawa akan menghindar, negative thinking. Kedua
: bersahabat, aktif, positive thinking.
Pada umumnya orang Jawa
suka membantu orang lain, sesuai ungkapan dudu
sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan (bukan sanak bukan saudara, jika
meninggal turut merasa kehilangan).
Kepercayaan
Orang Jawa sebagian
besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama
Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama
Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama
kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha
yang kuat.
Masyarakat Jawa terkenal
akan sifat sinkretisme
kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai
Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Mayoritas orang Jawa
berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri
sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat
kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis
dan model.
Orang Jawa juga banyak
yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga.
Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri terutama di negara
Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat
Arab, Taiwan, AS dan Eropa.
Stratifikasi Sosial
Masyarakat Jawa juga
terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika
yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa
menjadi tiga kelompok :
a. Kaum Santri. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama
Islam yang taat.
b. Kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau
penganut Kejawen.
c. Kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini
pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan
golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam
menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku
bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.
Memilih Jodoh dan Perkawinan
Berkenaan dengan
pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati – meski tidak terlalu selektif –
dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing
geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan
sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna. Hal ini karena memilih pasangan hidup
yang ideal adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang
yang ingin berumah tangga dan berketurunan. sebab kesalahan memilih pasangan
yang dinikahi akan berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan
keluarga di masa depan. Kata pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh
seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”
Falsafah Jawa BOBOT,
BIBIT, BEBET (3B) adalah alternatif bijak untuk menjawab konsep dalam The Law of Attraction “getaran jiwa memancar,
mencari, mendekat dan menarik getaran jiwa yang sama” ;
BOBOT : Kualitas diri
baik lahir maupun batin;
meliputi pendidikan,
pekerjaan, kecakapan, perilaku dan keimanan. Orang-orang Jawa ketika mau ngundhu mantu akan mempertanyakan
hal-hal tersebut kepada calon mantunya, pekerjaannya apa, pendidikannya sampai
apa, agamanya apa Untuk itu konsepsi
BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan, kasih sayang dan penghormatan
kepada wanita. Standar Kompetensi dalam BOBOT meliputi ;
1. Jangkeping Warni (lengkapnya warna),
kegagahan
atau keelokan calon menantu secara fisik tidak dinilai dari ketampanan/
kecantikan muka. Tetapi diukur dari sempurnanya tubuh dari penyakit/cacat.
2. Rahayu ing Mana (baik hati) bahasa kerennya “inner Beauty” .
Inilah ukuran keelokan
sesorang yang menjadi prioritas utama orang-orang Jawa dalam menentukan calon
mantunya. Termasuk kategori ini adalah agama dan cara beragama sang mantu ;
Agamanya apa ?, Alirannya apa ? (NU, Muhammadiyah, Darul Hadits, HTI dll,) –
ini sering jadi alasan penolakan orang tua terhadap calon menantunya yang tidak
sama madzhab yang diikuti, karena orang jawa sangat menjunjung ideologi hidup
yang tidak bisa ditawar dengan sedikit perbedaan dalam prinsip – menurut mereka
lebih baik dapat yang tidak begitu pinter agama tapi ada persamaan prinsip
dalam beragama dari pada pandai agama tapi tidak sepaham dengan mereka.
3. Ngertos Unggah Ungguh (mengerti tata krama),
Orang Jawa terkenal
dengan keramah tamahan, murah senyum dan sopan santunnya. Makanya jangan
main-main dengan etika yang benar-benar digugemi ini. Menantu yang dicari
adalah orang yang sume (suka mesem), sayang anak kecil, hormat kepada orang tua
dan bisa mikul dhuwur mendhem jeru (
meneladani kebaikan orang tua dan menutupi keaibannya). Adapun pria atau wanita
yang cemberut, tidak suka menyapa, cara bicaranya tidak sopan (ngoko) akan
terdepak dari nominasi. Makanya kalau pingin jadi menantunya orang jawa harus
latihan senyum dan belajar bahasa jawa halus (kromo inggil) sebab setiap ucapan
adalah pantulan dari jiwa , “Ojo ngomong waton, nanging ngomongo
nganggo waton” Artinya: “jangan berbicara asbun (asal bunyi), tetapi
bicaralah menggunakan dasar yang jelas dan dengan cara santun”. Bila ujaran ini
diindahkan, maka anda akan disebut “ndlodok”
dan “Gak dhuwe udel”. Biar pun
gelarnya Profesor apa jendral tapi kalau bicaranya tidak sopan dia bukanlah
orang yang terpelajar menurut orang Jawa. Ajining
diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana (kehormatan diri
terlatak pada ucapan dan kehormatan badan terletak pada pakaian).
4. Wasis
(ulet/memiliki etos kerja),
Orang jawa tidak silau
oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu. Tapi perhatian terfokus
pada ada tidaknya kemandirian pada diri calon mantu. Percuma harta warisan berlimpah tapi etos kerja
tidak ada, harta akan sirna karena tak pandai mengelola. Meskipun menikah hanya
MODERAT (modal dengkul dan urat) tapi kalau punya wasis / nggethu / ngetuel
kekayaan lambat laun akan dapat diraih. Ujarannya berbunyi, “Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan
Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli” (Bekerja keras dan bersemangat tanpa
pamrih; Cepat tanpa harus mendahului; Tinggi tanpa harus melebihi). Kalau
melihat unen-unen “ana sethitik dipangan sethitik”, “mangan ora mangan seng
penting ngumpul” – bukan ngompol –.
BIBIT : Asal usul /
keturunan,
Orang Jawa sangat konsen
terhadap asal-usul calon menantunya, jangan sampai memilih mantu bagai memilih
kucing dalam karung, yang asal-usulnya ndak jelas, keluarganya juga
remang-remang, pekerjaanya cuma begadang di jalanan (jangan-jangan keturunan
Grandong). Namun, bukan berarti orang Jawa hanya cari menantu keturunan Kyai
atau Priyayi (darah biru) tapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang
yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik – tidak harus punya SKKB,
asal tidak ada catatan kriminal di kepolisian – sudah cukup memenuhi kriteria
BIBIT yang disyaratkan. Jadi, mereka sangat teliti soal bibit dalam memilih
jodoh, karena bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Rasulullah
saw bersabda:"Wahai manusia, waspadalah kalian terhadap Khadhraud diman
(sayuran yang tumbuh dari kotoran binatang)." Kemudian sahabat bertanya:
Ya Rasulallah, apa yang dimaksud dengan Khadhraud diman itu? Rasulullah saw
menjawab: "Perempuan cantik yang ditumbuhkan dari bibit yang buruk."
(Al-Wasail, jld 14, hlm 29). perintah Rasulullah saw. lagi. “Nikahilah di dalam
rahim yang suci, karena perangai orang tua (keturunan) itu menurun kepada
anak.” (Ibnu ‘Adi).
Menurut teori Gen oleh
Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya, bahwa manusia
pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang tuanya, atau
juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak melalui aspek
tinggi badan, warna kulit warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting,
ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan tingkah laku
manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai contoh sifat
pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia
yang tidak dipelajari melalui pengalaman tapi hasil warisan generasi
sebelumnya.Mungkin kita pernah mendengar peribahasa Jawa yang berbunyi, "Kacang ora ninggal lanjaran"
atau "Air mata tak akan jatuh jauh dari pipi". Peribahasa tersebut
memberikan pengertian bahwa sifat, tindak tanduk dan karakter seorang anak
tidak akan jauh berbeda dari dan perilaku orang tuanya.
Bedasarkan hasil
research ilmu kedokteran bahwa penyakit genetik/keturunan dibawa dari generasi
sebelumnya dan menyerang generasi selanjutnya tanpa melihat keadaan dan kondisi
apapun. Bahkan bayi yang tidak tahu apa-apa, menjadi korban dari penyakit
keturunan yang diturunkan oleh nenek kakek atau orang tuanya. Bayangkan, apa
yang kita rasakan jika kita harus menanggung penyakit genetik seumur hidup?. Contoh
penyakit genetik keturunan diantaranya adalah hemofilia (darah sukar membeku),
buta warna, albino (tidak memiliki pigmen/warna kulit pada tubuhnya),
polidaktili (pertambahan jumlah jari kaki atau tangan), Diabetes Melitus
(kencing manis), Xeroderma Pigmentosum (kulit tebal bersisik di seluruh tubuh
yang dapat mengelupas setiap saat), asma/sesak nafas, darah tinggi, jantung,
dan lain-lain. Ada banyak penyakit genetik lainnya yang bersifat aneh karena
pengaruh dari pola hidup manusia itu sendiri.
Jadi. Filosofi Jawa yang
memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab menikah dengan
mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif tapi salah satu
alternatif yang bijak dalam laku BABAD untuk menjaga dan melestarikan keturunan
yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap kesehatan mental – spiritual
generasi bangsa.
BEBET : Status sosial
(harkat, martabat, prestige),
Orang jawa
memposisikannya dalam urutan ketiga, Bebet ini memang penting tapi tidak
terlalu penting, – seperti juga ungkapan yang mengatakan bahwa uang bukan
segalanya tapi segalanya membutuhkan uang – Bebet memang bukan sendi utama
dalam kriteria mencari jodoh karena filosofi Jawa sendiri mengatakan “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan
lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk
memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).Tetapi, apa salahnya
kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan
calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial merupakan
kebutuhan dasar manusia sebagaimana teori Maslows tentang hierarki kebutuhan
manusia yang meliputi ;
1. Kebutuhan bilologis
dan fisiologis
2. Kebutuhan akan rasa
aman
3. Kebutuhan untuk
mencntai dan dicintai
4. Kebutuhan status
sosial, dan
5. kebutuhan aktualisasi
diri
Selanjutnya, sosok suami
yang diidamkan untuk menjadi panutan menurut orang Jawa harus memenuhi 5
indikator (5N) :
1. Ngomahi, mampu menyediakan tempat tinggal yang layak.
2. Ngingoni, mampu memberi nafkah lahir.
3. Ngayomi, mampu memberi perlindungan dan rasa aman.
4. Ngayemi, mampu memberikan kesejukan dan kedamaian.
5. Ngeloni, mampu memberi nafkah batin.
Begitu juga sosok istri
yang ideal harus memenuhi 5 indikator (5I) :
1. Bekti, patuh kepada suami.
2. Ati-Ati, berlaku waspada dan berhati-hati menjaga kehormatan
diri
dan kepercayaan suami.
3. Gemati/Gati, peduli dan perhatian dalam melayani suami,
mendidik anak dan mengatur rumah tangga.
4. Gemi, hemat dan pandai dalam memanage ekonomi keluarga. ”.
5. Welas Asih, memiliki rasa sayang dan kasih.
Dalam Serat Yadnyasusila dijelaskan bahwa
wanita idaman itu memiliki karakter
pandai merias diri (ngadi warni),
memperindah busana (ngadi busana),
berwajah ceria dan murah senyum (ngadi
wadana), santun dalam bertutur kata (ngadi
wicara), dan sopan serta luwes dalam berperilaku (ngadi solah bawa).
Pada hakikatnya, sebagian besar filosofi Jawa itu bersumber
dari ajaran-ajaran Islam yang sudah menyatu dalam pola pikir dan pola laku
orang-orang Jawa, yang mereka refleksikan dalam tradisi yang mereka jadikan
sebagai pegangan hidup sehari-hari. Diantara hadits Nabi SAW yang dijadikan
sebagai landasan filosofi Jawa tentang sosok suami/istri idaman adalah hadits
Nabi yang berbunyi “Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari kami
terhadap istrinya? Beliau menjawab: "Engkau memberinya makan jika engkau
makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah,
jangan menjelek-jelekkan, dan jangan berpisah ranjang kecuali di dalam rumah
sendiri." (H.R.Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, dan Ibnu Majah)
“Tidak ada keuntungan
orang mukmin setelah taqwa kepada Allah yang lebih baik baginya dibanding
mempunyai isteri yang shalihah/baik. Apabila dia (suami) menyuruhnya maka
ditaati. Apabila dia (suami) melihatnya, maka isteri itu menggembirakannya.
Apabila ia memberi bagian padanya maka dia menerimanya dengan baik. Dan apabila
ia tidak ada di rumah maka isteri yang shalihah itu tetap memurnikan cintanya
untuk sang suami dalam menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya.” (H.R. Ibnu
Majah dari Abi Umamah berderajat hasan/ baik).
Begitu juga dengan
konsep 3 B ini bersumber dari hadits rasululllah saw yang berbunyi ;
Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan,
kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia." (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima).
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang
jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus
mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai
lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan.
Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.
Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuko kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu ragil atau tumplak punjen.
Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.
Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuko kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu ragil atau tumplak punjen.
Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan
adalah pada pihak wanitanya, sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup
memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak
perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah
maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara setelah
perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke
rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari hari “baik”, maka perlu
dimintakan pertimbangan dari ahli hitungan hari “baik” berdasarkan patokan
Primbon Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad
nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup
perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan
istilah diulik, yaitu mulai dengan
pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi tepat agar dalam
persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa
yang akan membuat tubuh ideal dan singset.
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul) dan biasanya di
rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari bahan bambu
serta gedek/bilik dan atap rumbia
yang di masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub dikerjakan secara
gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula karena perkawinan ada di
gedung, maka pasang tarub hanya
sebagai simbolis berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan dibawah genting.
Dalam upacara pasang tarub yang
terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang
tarub, harus
diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 – 9 orang).
Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini selamat, yang bersamaan
dengan ini ditaburkan pula kembang
setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur
dan pendaringan (tempat menyimpan
beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat dengan rumah. Diletakkan
pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas genting rumah. Bersamaan itu pula
rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk di pasang batang-batang tebu, daun
alang-alang dan opo-opo, daun
beringin dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu
acara berlangsung. Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan
pohon pisang raja lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.
Siraman
(pemandian) dilakukan sehari sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibu-ibu yang
sudah berumur serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah sukses
dalam hidup, disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga
seraya ucapan “semoga selamat di dalam hidupnya”. Seusai upacara siraman, makan
bersama berupa nasi dengan sayur tumpang
(rebusan sayur taoge serta irisan kol dan kacang panjang yang disiram bumbu
terbuat dari tempe dan tempe busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta
diberi santan, salam, laos serta daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete
dan krupuk kulit), dengan pelengkap sosis dan krupuk udang.
Midodareni adalah
malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara
temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat datang sambil
bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi
liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun
dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan
Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk memperlihatkan
keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan yang
mungkin karena malu). Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus disediakan
kopi susu dan sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan
kol, wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon
tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis.
Disaat sedang sarapan, Penghulu beserta stafnya datang,
ikut sarapan dan setelah selesai langsung dilakukan upacara akad nikah.
Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam
kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap sebagai
bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya peristiwa
terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin, yang
setelah itu Penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa
berbeda walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya
Solo dan gaya Yogya.
Misalnya dalam gaya Solo, di hari “H”nya, di sore hari.
Tamu yang datang paling awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah
kerepotan bisa dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk
bersila di krobongan, dengan lantai
permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya bagi keluarga mampu), sedang
yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun berjajar di Pendopo (sekarang ini
laki-laki dan perempuan bercampur di Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan
tanpa berhenti memainkan gending Kebogiro,
yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan pengantin laki-laki
dimainkan gending Monggang. Tapi saat
pengantin beserta pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending
berhenti, dan para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di
pendopo, ia disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih
sejawat orang tuanya yang terpilih
Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki dituntun ke arah krobongan.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter,
mereka saling melempar dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang,
yang siapa saja melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup
perkawinannya akan menang selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang
berdiri di sisi sebuah baskom isi air bercampur bunga. Di depan baskom di
lantai terletak telur ayam, yang harus diinjak si laki-laki sampai pecah, dan
setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga oleh si wanita sambil berjongkok.
Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita menyelimutkan slindur/selendang
yang dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil berucap : “Anakku siji saiki
dadi loro” (anakku
satu sekarang menjadi dua).
Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin perempuan menanti sambil
duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah sambil ditanya isterinya : “Abot endi Pak?” (berat mana Pak ?), yang dijawab sang suami : “Podo ndene” (sama saja).
Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si laki-laki duduk
sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun pengantin membawa
masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan, berlian) dan uang
pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan
yang telah memegang saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara
terbuka. Inilah yang disebut kacar-kucur.
Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan
suap-menyuap makanan antara pengantin. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu
diedarkan (sekarang dengan cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan.
Setelah itu, dilakukan acara ngabekten (melakukan
sembah) kepada orang tua pengantin perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang
tua laki-laki ke rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk di krobongan dan disembah kedua pengantin).
Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima
kasih kepada para tamu dan mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan
acara hiburan berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara
itu, dsb.nya.
Kelahiran dan Mendewasakan
Anak
Mupu, artinya
memungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan hamilnya si Ibu
yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga
atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga),
agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang
tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.
Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar mencari pisang raja sesisir yang buahnya
hanya satu, sebab menurut gugon tuhon
(takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan nuwuhaken (menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya.
Anhinga, bisa dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak.
Pada saat si Ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan
bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, dan
demikian sebaliknya jika anaknya perempuan.
Sedangkan di saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan,
diadakan hajatan nujuhbulan atau mitoni.
Disiapkanlah sebuah kelapa gading
yang digambari wayang dewa Kamajaya
dan dewi Kamaratih (supaya
si bayi seperti Kamajaya jika laki-laki dan seperti Kamaratih jika perempuan), kuluban/gudangan/uraban (taoge,
kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan lauk tambahan
lainnya untuk makan nasi),dan rujak buah.
Disaat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.
Disaat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.
Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban,
didahului Ibu tertua, dengan air kembang
setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh)
kali. Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi
diperkirakan laki-laki.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada Tuhan.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada Tuhan.
Slametan (syukuran)
pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang terdiri dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu
pedas tanda si bayi laki-laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar
berupa ubi rebus, singkong, jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih,
sayur lodeh kluwih/timbul agar linuwih (kalau sudah besar terpandang).
Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan slametan
sepasaran, dengan jenis makanan sama dengan brokohan. Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi di potong sedikit
dengan gunting dan bayi diberi nama, misalnya bernama Risky Akbar Yuwono.
Saat diteliti di almanak
Jawa tentang wukunya, ternyata Risky Akbar Yuwono berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari
rangkaian wuku yang berjumlah 30
(tiga puluh). Menurut wuku tolu maka
Risky Akbar Yuwono berdewa Batara
Bayu, ramah-tamah walau bisa berkeras hati, berpandangan luas, cekatan
dalam menjalankan tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang
hingga pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka pujian dan
sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.
Slametan
selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang
pada pokoknya sama dengan acara sepasaran.
Hanya saja disini rambut bayi dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh
lebat. Setelah ini, setiap 35 (tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara
peringatan yang sama saja dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi
tumpeng dengan irisan telur ayam rebus dan bubur merah-putih.
Peringatan
tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari sedikit
istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah.
Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya
laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis
menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan menjadi
pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia
akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki
si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu
melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan
anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.
Setelah si anak berusia menjelang sewindu atau 8
(delapan) tahun, belum juga mempunyai adik, maka perlu dilakukan upacara
mengadakan wayang kulit yang biasa acara semacam ini dinamakan ngruwat agar bebas dari marabahaya
Biasanya tentang cerita Kresno Gugah
yang dilanjutkan dengan cerita Murwakala.
Saat menjelang remaja, tiba waktunya si anak untuk ditetaki/diselami/khitan/sunat.
Setibanya di tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si
anak ke dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat : “laramu
tak sandang kabeh” (sakitmu
saya tanggung semua).
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan
memperingati usianya dalam satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun.
Peristiwa ini dinamakan windon,
dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi
tumpeng yang diberi 8 (delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi
peringatan harus dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran,
yang diyakini agar usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu,
si anak sudah dianggap remaja/perjaka atau jaka, suaranya ngagor-agori (memberat). Saat berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun
yang biasanya sudah kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan karena ia
sudah hidup selama 4 (empat) windu, maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil).
Sedangkan ulang tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut tumbuk ageng.
Saat dewasa, banyak congkok
atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang membawa cerita dan foto
gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai banyak pertimbangan yang antara
lain : jangan mbokongi
(menulang-punggungi sebab keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes
karena perlu mikir praja (gengsi). Jangan
kawin dengan sanak-famili walau untuk nggatukake
balung apisah (menghubungkan kembali tulang-tulang terpisah/mempererat
persaudaraan) dan bergaya priyayi karena
seandainya cerai bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro (bangsawan) tapi jangan terlalu
tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara dengan si anak serta sederhana dan
menarik hati. Lagi pula si laki-laki sebaiknya harus gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).
Kematian
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak,
menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi
mengundang kontroversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa
yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian
lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam
keislamannya), juga bandosa (alat
pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur
bersama-sama dengan mayatnya).
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil
misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan
(jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan
termuda. Jalan di depan bandosa
disapu dengan menggunakan sapu lidi.
Sedangkan meskipun slametan
orang mati, mulai geblak (waktu
matinya), pendak siji (setahun
pertama), pendak loro (tahun kedua)
sampai dengan nyewu (seribu hari/3
tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan
dan segowuduk (nasi uduk), tapi
saat nyewu biasanya ditambah dengan
memotong kambing untuk disate dan gule.
Nyewu dianggap
slametan terakhir dengan nyawa/roh
seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya
akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah
dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke
alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur
rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah
menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya “Bakdan” atau
Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya.
Seni Tradisional
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama
dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita
wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan
Mahabharata.
Selain pengaruh India, pengaruh Islam (yang disebarkan
oleh para Wali) dan Dunia Barat (Kolonial) ada pula. Seni batik dan keris
merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga
dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi
Jawa.
Kebudayaan Jawa klasik yang keagungannya diakui oleh
dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah yang berupa
candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Candi Borobudur di
dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten,
candi Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan
masa silam yang tak ternilai harganya.
Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti,
tergores di daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra
Jawa klasik yang hingga kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula
warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni
rupa, seni pedalangan,seni bangunan (arsitektur), seni busana, adat istiadat,
dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
Wilayah budaya Negarigung yang mencakup daerah Surakarta
– Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan
tradisi kraton (Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya Banyumasan
menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah budaya
pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari Timur ke
Barat.
Sedangkan masyarakat wilayah Jawa Timur, merupakan wilayah
budaya yang bergayutan dengan tradisi kerajaan Kediri dan Majapahit (di barat
dan selatan), kerajaan Madura di Pulau Madura serta budaya Bali di bagian timur
(Banyuwangi).
Contoh seni budaya tradisional asli suku Jawa :
-
Gendhing dan gamelan (Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa
Timur).
-
Wayang Orang/Ketoprak (Jawa Tengah).
-
Ludruk (Jawa Timur).
-
Wayang Kulit (Jawa Tengah dan Timur).
-
Reog (Ponorogo).
-
Janger (Banyuwangi).
-
Kuda Lumping (Jawa Tengah : Jaranan, Jawa Timur : Jathilan).
-
Grebeg
Suro.
-
Sekaten.
-
Maleman (Klaten
tiap malam 21 Romadhon). Dll.
Gamelan Jawa adalah ensembel musik yang biasanya
menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada
Gamelan Jawa berasal dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa
lainnya. Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup,
sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa.
Gamelan Jawa terdiri atas instrumen berikut:
-
Kendang
-
Bonang
-
Bonang Penerus
-
Demung
-
Saron
-
Peking (Gamelan)
-
Kenong & Kethuk
-
Slenthem
-
Gender
-
Gong
-
Gambang
-
Rebab
-
Siter
-
Suling
-
Kempul
BAB III
KESIMPULAN
Dalam keseharian kita, kita telah terbiasa menyebutkan
suku Jawa adalah untuk mengidentifikasi suku yang berasal dari Jawa Tengah,
Yogjakarta dan Jawa Timur. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan kebiasaan
mereka dapat dikatakn hampir mirip. Sedangkan suku yang berasal dari Jawa Barat
tidak termasuk ke dalam suku Jawa, meskipun sebenarnya mereka berasal dari
Pulau Jawa. Mereka biasa disebut suku Sunda.
Kebiasaan adat istiadat suku Jawa selalu mewarnai di
dalam tingkah laku dari kelahiran, perkawinan hingga kematian.
Orang suku Jawa biasanya dikenal dengan keramahtamahan,
kelambanan, tolernsi dan kelemahlembutannya. Akan tetapi tidak semua orang Jawa
lamban, tergantung orangnya. Banyak orang Jawa yang berani bertindak tegas dan
cepat (trampil-trengginas-tanggap-tanggon). Apalagi jika demi tujuan luhur dan
membela rakyat banyak, miskin, dan tertindas. Orang Jawa berani tampil menjadi
pahlawan. Contohnya? Banyak! Para perintis kemerdekaan rela dipenjara, dibuang.
Bahkan banyak rakyat kecil yang berani cepat bertindak dan berani mati demi
rakyat banyak (Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya). Di mana letak
rahasianya? Sifat jujur! Orang-orang jujur berani mati, sebaliknya, orang yang
tak jujur, tak berani mati. Apalagi koruptor gede kaya raya, amat takut mati.
Mungkin dia kira, malaikat pencabut nyawa, bisa disogok!
Banyak falsafah dan perilaku kebiasaan suku Jawa yang
sebaiknya dapat kita tiru dalam kehidupan kita sehari-hari.
BAB V
PENUTUP
Demikian, sedikit uraian
yang dapat Kami paparkan dalam Makalah “Mengenal
dan Mengetahui Adat Istiadat, Kebiasaan serta Karakteristik Masyarakat Suku
Jawa”, semoga hal yang sedikit ini dapat memberi manfaat besar bagi seluruh
pembaca. Amin.
REFERENSI
- http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa diakses pada 25 Mei 2012
- http://sosbud.kompasiana.com/2012/1/08/andhap_ashor_karateristik_perilaku_orang_jawa diakses pada 25 Mei 2012
- http://sosbud.kompasiana.com/2011/4/15/benrkah_sifat_orang_jawa_itu_lamban diakses pada 25 Mei 2012
- http://id.wikipedia.org/wiki/gamelan_jawa diakses pada 25 Mei 2012
- http://id.wikipedia.org/wiki/suriname diakses pada 25 Mei 2012
- http://id.wikimedia.org/wiki/suku_jawa diakses pada 25 Mei 2012