Sabtu, 09 Juni 2012

Ilmu Sosial Dasar - Makalah Mengenal Suku Jawa


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.        Latar Belakang
Dalam keseharian kita, kita telah terbiasa menyebutkan suku Jawa adalah untuk mengidentifikasi suku yang berasal dari Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur. Sedangkan suku yang berasal dari Jawa Barat tidak termasuk ke dalam suku Jawa, meskipun sebenarnya mereka berasal dari Pulau Jawa.
Suku Jawa (Jawa ngoko : wong Jowo, krama : tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Kalimantan, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat suku Jawa banyak dijumpai di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Di luar negeri, suku Jawa juga mendominasi di Malaysia, Singapura dan Suriname. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Suku Jawa sebagai bagian dari kelompok sosial sejak zaman nenek moyang berabad-abad yang lalu sudah berinteraksi dengan kelompok masyarakat dari suku bangsa lain, sehingga terjadilah masyarakat yang multikultural.
Sebagaimana lazimnya, setiap suku bangsa memiliki kekhasan tersendiri. Sebagai perawat, sudah seharusnya membekali diri dengan pengetahuan akan karakteristis suatu suku, sehingga akan mempermudah perawat dalam berinteraksi dengan klien.
Dosen pengampu Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar menugaskan kepada mahasiswa untuk membuat suatu Makalah mengenai adat istiadat, kebiasaan serta karakteristik suatu suku bangsa dalam hal ini suku Jawa.
                                               
1.2.        Tujuan Penulisan
a.    Memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
b.    Perawat dalam melakukan suatu proses keperawatan terhadap klien yang bersuku bangsa jawa, agar dapat menggunakan pendekatan secara kultural.
                                                     
1.3.        Manfaat Penulisan
a.    Pembaca khususnya perawat dapat mengetahui dan mengenal akan adat istiadat, kebiasaan, kultur dan karakteristik suku Jawa.
b.    Pendekatan yang dilakukan secara kultural terhadap klien akan dapat lebih mendekatkan klien dengan perawat, sehingga tujuan dalam sutu proses keperawatan akan lebih mudah dicapai.                           












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2.1.      Geografi       
pulau jawa.PNG
 
                                                           





Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terpadat di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.
Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km2. Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.
Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia. Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.
Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari.

2.2.      Sejarah
Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama perhubungan masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antar penduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.

Masa kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Taruma dan Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan ke-7. Sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah.
Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama mengandalkan pada pertanian padi, namun juga mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Cina dan India.
Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya di masa pemerintahan Hayam Wuruk (m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura saja. Gajah Mada adalah mahapatih di masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan mereka pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.

Masa kerajaan Islam
Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui Hindu dan Buddha sebagai agama dominan di Jawa, melalui dakwah yang terlebih dahulu dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Banten membangun kekuasaannya.

Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa ketika datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17.

Masa kolonial
Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan perjanjian tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia. Pada akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap kesultanan-kesultanan di pedalaman pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia). Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan, dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup administrasi kolonial.
Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Inggris sempat menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Britania Raya, dengan Sir Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814, Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada Traktat Paris.
Penduduk pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 5 juta orang pada tahun 1815. Pada paruh kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi yang cepat. Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti singkong dan jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu membeli beras. Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan semakin meluasnya perekutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah.
Pada masa kolonial Belanda, banyak penduduk Jawa di bawa ke Suriname untuk dijadikan budak. Hingga saat ini keturunan mereka dikenal sebagai Jawa Suriname. Jumlah mereka mencapai 17,8 % (sensus penduduk 1990).
Pada tahun 1820, terjadi wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.
Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak tahun 1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an. Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak.

Masa kemerdekaan
Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat Kebangkitan Nasional Indonesia), dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan anti-komunis selanjutnya pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998 terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun.
Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.     
                                               
2.3.      Bahasa dan Tulisan
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.     
Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek lokal bahasa Melayu di wilayah Jakarta), bahasa Osing dan bahasa Tengger (erat hubungannya dengan bahasa Jawa), bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa Sunda), bahasa Kangean (erat hubungannya dengan bahasa Madura), bahasa Bali, dan bahasa Banyumasan. Sebagian besar besar penduduk mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa kedua mereka.
Bahasa Jawa digolongkan tas dua tingkatan :
a.    Bahasa Ngoko, biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari.
b.    Bahasa Kromo, digukana dalam percakapan dengan orang yang lebih tua atau dihormati, serta digunakan dalam istana dan pewayangan.
Huruf Jawa, menurut sejarahnya diciptakan oleh seorang satria pinanditha yang bernama Aji Saka. Ia menciptakan sebuah sajak menggunakan huruf yang kini dinamakan huruf Saka. Penanggalan kalender Jawa juga dinamakan Tahun Saka.
                                               
2.4.      Kependudukan
Dengan populasi sebesar 136 juta jiwa. Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia. Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km², pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa. Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.400 jiwa/km2.
Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan konflik antara transmigran pendatang dari Jawa dengan populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur banyak pula terdapat penduduk dari etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan hubungan bersejarah antara Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan wilayah sekelilingnya sebagai daerah metropolitan yang dominan serta ibukota negara, telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku bangsa di Indonesia.
                                               
2.5.      Karakteristisk Etnis, Seni, Sosial dan Budaya                                  
Mitos asal-usul pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin, bernama Tangtu Panggelaran. Komposisi etnis di pulau Jawa secara relatif dapat dianggap homogen, meskipun memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Etnis Madura dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga; mereka berasal dari pulau Madura yang berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke Jawa Timur sejak abad ke-18. Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini, sedangkan orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%.
Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau ini: sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah, budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di bagian barat, dan budaya Osing (blambangan) di bagian timur. Budaya Madura terkadang dianggap sebagai yang kelima, mengingat hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa. Kejawen dianggap sebagai budaya Jawa yang paling dominan. Aristokrasi Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga merupakan wilayah asal dari sebagian besar tentara, pebisnis, dan elit politik di Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang berlaku di wilayah ini dianggap yang paling halus dan merupakan panutan masyarakat Jawa. Tanah pertanian tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari Banyumas di sebelah barat hingga ke Blitar di sebelah timur.
Dalam keseharian kita, kita telah terbiasa menyebutkan suku Jawa adalah untuk mengidentifikasi suku yang berasal dari Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan kebiasaan mereka dapat dikatakn hampir mirip. Sedangkan suku yang berasal dari Jawa Barat tidak termasuk ke dalam suku Jawa, meskipun sebenarnya mereka berasal dari Pulau Jawa. Mereka biasa disebut suku Sunda.

rumah joglo.PNG
 
Rumah Adat





Pendopo Agung yang berbentuk ”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4 (empat) Soko guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh) Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu.
Bangunan Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro Gepak”.

Karakteristik Prilaku Suku Jawa
wong jowo.PNG
 
 





Masyarakat Jawa dikenal menjaga nilai-nilai rukun, saling menghormati dan melibatkan kebudayaan yang berbgai macam, yaitu menekankan pentingnya kelompok sebagai sumber dukungan dan bimbingan dalam bertingkah laku. Tentunya hal itu memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam berperilaku. Tentunya hal itu memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam berperilaku. Masyarakat keseluruhan mengutamakan sifat saling tergantung dalam jaringan hubungan sosial serta kemampuan menyesuaikan diri dengan kelompok dan cenderung merendahkan diri. Budaya merendahkan diri terlihat dalam tutur kata misalnya ”Monggo mampir wonten gubug kulo” yang sesungguhnya mempersilakan orang singgah dirumahnya. Dari kalimat itu,kesan yang muncul bahwa rumah yang ditempati sangat sederhana sekalipun terkadang lebih bagus dari sebuah gubug (rumah-rumahan di sawah). Hal ini tidak terlepas dari nilai hormat dan rukun yang menjadi prinsip dalam membangun interaksi sosial masyarakat khususnya suku masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa tidak menonjolkan milik pribadi karena tidak ingin meninggikan diri sendiri yang dianggap sebagun dengan sombong dan tidak menghormati orang lain dan lebih suka bersifat andhap asor.
Masyarakat Jawa menekankan nilai-nilai rukun dan hormat dengan cara merendahkan diri untuk meninggikan diri. Dengan merendahkan diri sama halnya memberi hormat kepada orang lain dan dengan begitu orang lain pun akan menghormati dirinya. Dalam kehidupan saling enghormati dan rukun ini tercipta suasana yang harmonis dan bukan saling bersaing untuk menonjolkan kemampuanya atau apapun yang dimiliki. Orang yang mertendahkan diri secara tidak langsung menjaga hubungan sosial dalam kelompok. Untuk itu karakteristik perilaku budaya Jawa ini wajib kita jaga sebagai suku Jawa maupun tidak.
Sebagian masyarakat kita berpendapat, bahwa dalam mengambil keputusan, orang Jawa itu lamban. Tidak cepat bertindak. Penakut. Maka setiap masalah yang dihadapi menjadi berlarut-larut. Yang lebih celaka, masalah lama belum terselesaikan, muncul masalah baru! Maka situasi dan kondisi permasalahan semakin ruwet-runyam.
Benarkah sifat orang Jawa itu lamban? Kebudayaan Jawa adalah heterogen, maka watak dan tabiat mayarakatnya pun beragam. Ada yang kalem, ada yang cekatan,  ada yang rajin, ada yang polos, ada yang halus, ada yang berangasan, ada yang jahat ada yang baik, ada yang berbelit-belit, ada yang sombong, ada yang rendah hati, ada yang terbelakang, ada yang modern, ada yang peduli, ada yang cuek, ada yang mengelompok, ada yang menyendiri, dan sebagainya (Drs.Imam Suradjo, M.Hum/Kajian Budaya Jawa/Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS/2008). Ragam watak atau tabiat wong Jawa itu komplit. Oleh sebab itu watak orang Jawa tidak bisa disamaratakan (digebyah-uyah).

Orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikir dan berasa seperti nenek moyangnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur; dengan Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaannya. Seiring dengan zamannya, maka bahasa, budaya, dan gaya hidup wong Jawa juga mengalami proses asimilasi dan akulturasi.  Asimilasi dan akulturasi adalah fenomena budaya, kapan pun dan di mana pun. Dalam era globalisasi unsure-unsur bahasa, budaya, dan gaya hidup, saling mempengaruhi; saling memberi dan menerima. Pihak yang kuat, biasanya menjadi pihak yang memberi (Marbangun/1984).
Akibat globalisasi, orang Jawa semakin tersebar ke penjuru dunia. Maka bahasa, budaya, serta gaya hidup, semakin ikut mendunia. Dan ini tentu saja, sedikit atau banyak, ikut memberi warna baru kepada perilaku, adab, dan tabiat orang Jawa dan keturunannya.
Sejarah nasional mencatat, sejak dulu, jumlah suku bangsa Jawa terbesar di Indonesia. Bahkan, bahasa Jawa menduduki urutan ke-11 terbesar pada deretan bahasa dunia (Drs. Imam Sutardjo, M.Hum/2008). Pengguna bahasa Jawa tercatat 75,5 juta orang, dari penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 320 jiwa.
Sejarah purbakala pun mencatat, budaya Jawa sudah cukup tua dan tinggi. Sampai sekarang pun dokumentasi tertulis sastra-budaya Jawa kuno, masih tersimpan baik di museum-museum. Dari semua dokumen tertulis tersebut dapat dibuktikan bahwa manusia Jawa beberapa abad yang lalu telah memiliki kehidupan yang relatif mapan. Sejumlah candi dan patung kuno yang tersebar di pulau Jawa sebagai bukti secara faktual dan visual.
Namun demikian, semua warisan budaya tersebut, termasuk ilmu mencapai kehidupan manusia yang jaya dan mulia, jika tidak dilaksanakan, pastilah tak akan ada hasilnya. Ilmu-ilmu tinggi tetap menjadi dokumentasi mati di rak-rak buku yang berdebu, sunyi-sepi sendir i. Ngelmu iku kelakone kanthi laku, kata pujangga.

Perasaan Orang Jawa
Perasaan orang Jawa (tradisional-asli) dapat dibedakan atas : aji, pakewuh, ajrih, lingsem, isin.
Aji adalah rasa hormat kepada orang yang lebih tinggi derajatnya, pangkatnya, martabatnya. Tidak cuma hormat, bahkan ada yang bercampur rasa kagum.
Pakewuh (basa krama-nya : pakewet) adalah perasaan malu ketika dia harus berhubungan, bergaul, bercampur, bertemu, apalagi minta tolong, kepada orang yang derajat dan pangkatnya lebih tinggi.
Ajrih adalah perasaan malu (bercampur takut) disebabkan karena dirinya merasa telah bersalah, atau telah melakukan sesuatu yang kurang baik, kepada seseorang.
Rasa senang (krama : remen) adalah perasaan senang, enak, nyaman, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang lain yang sederajat.
Tresna adalah rasa senang, cinta, simpati, saat bertemu, bergaul, dengan orang lain, yang biasanya telah akrab.
Gething adalah rasa benci. Biasanya benci disebabkan oleh sifat-sifat buruk seseorang, sehingga dia menjauhi orang tersebut. Jadi jelas, budaya Jawa (bukan orang Jawa) memiliki budaya malu.
Jika bertemu dengan orang yang belum dikenal, maka ada dua kemungkinan. Pertama : orang Jawa akan menghindar, negative thinking. Kedua : bersahabat, aktif, positive thinking.
Pada umumnya orang Jawa suka membantu orang lain, sesuai ungkapan dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan (bukan sanak bukan saudara, jika meninggal turut merasa kehilangan).

Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat.
Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model.
Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.

Stratifikasi Sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok :
a.    Kaum Santri. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat.
b.    Kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen.
c.    Kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.

Memilih Jodoh dan Perkawinan
Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati – meski tidak terlalu selektif – dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna. Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan berketurunan. sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi akan berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”
Falsafah Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET (3B) adalah alternatif bijak untuk menjawab konsep dalam  The Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan menarik getaran jiwa yang sama” ;
BOBOT : Kualitas diri baik lahir maupun batin;
meliputi pendidikan, pekerjaan, kecakapan, perilaku dan keimanan. Orang-orang Jawa ketika mau ngundhu mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon mantunya, pekerjaannya apa, pendidikannya sampai apa, agamanya apa  Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan, kasih sayang dan penghormatan kepada wanita. Standar Kompetensi dalam BOBOT meliputi ;
1. Jangkeping Warni (lengkapnya warna),
kegagahan atau keelokan calon menantu secara fisik tidak dinilai dari ketampanan/ kecantikan muka. Tetapi diukur dari sempurnanya tubuh dari penyakit/cacat.
2. Rahayu ing Mana (baik hati) bahasa kerennya “inner Beauty” .
Inilah ukuran keelokan sesorang yang menjadi prioritas utama orang-orang Jawa dalam menentukan calon mantunya. Termasuk kategori ini adalah agama dan cara beragama sang mantu ; Agamanya apa ?, Alirannya apa ? (NU, Muhammadiyah, Darul Hadits, HTI dll,) – ini sering jadi alasan penolakan orang tua terhadap calon menantunya yang tidak sama madzhab yang diikuti, karena orang jawa sangat menjunjung ideologi hidup yang tidak bisa ditawar dengan sedikit perbedaan dalam prinsip – menurut mereka lebih baik dapat yang tidak begitu pinter agama tapi ada persamaan prinsip dalam beragama dari pada pandai agama tapi tidak sepaham dengan mereka.
3. Ngertos Unggah Ungguh (mengerti tata krama),
Orang Jawa terkenal dengan keramah tamahan, murah senyum dan sopan santunnya. Makanya jangan main-main dengan etika yang benar-benar digugemi ini. Menantu yang dicari adalah orang yang sume (suka mesem), sayang anak kecil, hormat kepada orang tua dan bisa mikul dhuwur mendhem jeru ( meneladani kebaikan orang tua dan menutupi keaibannya). Adapun pria atau wanita yang cemberut, tidak suka menyapa, cara bicaranya tidak sopan (ngoko) akan terdepak dari nominasi. Makanya kalau pingin jadi menantunya orang jawa harus latihan senyum dan belajar bahasa jawa halus (kromo inggil) sebab setiap ucapan  adalah pantulan dari jiwa , “Ojo ngomong waton, nanging ngomongo nganggo waton” Artinya: “jangan berbicara asbun (asal bunyi), tetapi bicaralah menggunakan dasar yang jelas dan dengan cara santun”. Bila ujaran ini diindahkan, maka anda akan disebut “ndlodok” dan “Gak dhuwe udel”. Biar pun gelarnya Profesor apa jendral tapi kalau bicaranya tidak sopan dia bukanlah orang yang terpelajar menurut orang Jawa. Ajining diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana (kehormatan diri terlatak pada ucapan dan kehormatan badan terletak pada pakaian).
4. Wasis (ulet/memiliki etos kerja),
Orang jawa tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu. Tapi perhatian terfokus pada ada tidaknya kemandirian pada diri calon mantu.  Percuma harta warisan berlimpah tapi etos kerja tidak ada, harta akan sirna karena tak pandai mengelola. Meskipun menikah hanya MODERAT (modal dengkul dan urat) tapi kalau punya wasis / nggethu / ngetuel kekayaan lambat laun akan dapat diraih. Ujarannya berbunyi, “Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli” (Bekerja keras dan bersemangat tanpa pamrih; Cepat tanpa harus mendahului; Tinggi tanpa harus melebihi). Kalau melihat unen-unen “ana sethitik dipangan sethitik”, “mangan ora mangan seng penting ngumpul” – bukan ngompol –.

BIBIT : Asal usul / keturunan,
Orang Jawa sangat konsen terhadap asal-usul calon menantunya, jangan sampai memilih mantu bagai memilih kucing dalam karung, yang asal-usulnya ndak jelas, keluarganya juga remang-remang, pekerjaanya cuma begadang di jalanan (jangan-jangan keturunan Grandong). Namun, bukan berarti orang Jawa hanya cari menantu keturunan Kyai atau Priyayi (darah biru) tapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik – tidak harus punya SKKB, asal tidak ada catatan kriminal di kepolisian – sudah cukup memenuhi kriteria BIBIT yang disyaratkan. Jadi, mereka sangat teliti soal bibit dalam memilih jodoh, karena bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Rasulullah saw bersabda:"Wahai manusia, waspadalah kalian terhadap Khadhraud diman (sayuran yang tumbuh dari kotoran binatang)." Kemudian sahabat bertanya: Ya Rasulallah, apa yang dimaksud dengan Khadhraud diman itu? Rasulullah saw menjawab: "Perempuan cantik yang ditumbuhkan dari bibit yang buruk." (Al-Wasail, jld 14, hlm 29). perintah Rasulullah saw. lagi. “Nikahilah di dalam rahim yang suci, karena perangai orang tua (keturunan) itu menurun kepada anak.” (Ibnu ‘Adi).
Menurut teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya, bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak melalui aspek tinggi badan, warna kulit warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman tapi hasil warisan generasi sebelumnya.Mungkin kita pernah mendengar peribahasa Jawa yang berbunyi, "Kacang ora ninggal lanjaran" atau "Air mata tak akan jatuh jauh dari pipi". Peribahasa tersebut memberikan pengertian bahwa sifat, tindak tanduk dan karakter seorang anak tidak akan jauh berbeda dari dan perilaku orang tuanya.
Bedasarkan hasil research ilmu kedokteran bahwa penyakit genetik/keturunan dibawa dari generasi sebelumnya dan menyerang generasi selanjutnya tanpa melihat keadaan dan kondisi apapun. Bahkan bayi yang tidak tahu apa-apa, menjadi korban dari penyakit keturunan yang diturunkan oleh nenek kakek atau orang tuanya. Bayangkan, apa yang kita rasakan jika kita harus menanggung penyakit genetik seumur hidup?. Contoh penyakit genetik keturunan diantaranya adalah hemofilia (darah sukar membeku), buta warna, albino (tidak memiliki pigmen/warna kulit pada tubuhnya), polidaktili (pertambahan jumlah jari kaki atau tangan), Diabetes Melitus (kencing manis), Xeroderma Pigmentosum (kulit tebal bersisik di seluruh tubuh yang dapat mengelupas setiap saat), asma/sesak nafas, darah tinggi, jantung, dan lain-lain. Ada banyak penyakit genetik lainnya yang bersifat aneh karena pengaruh dari pola hidup manusia itu sendiri.
Jadi. Filosofi Jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif tapi salah satu alternatif yang bijak dalam laku BABAD untuk menjaga dan melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap kesehatan mental – spiritual generasi bangsa.

BEBET : Status sosial (harkat, martabat, prestige),
Orang jawa memposisikannya dalam urutan ketiga, Bebet ini memang penting tapi tidak terlalu penting, – seperti juga ungkapan yang mengatakan bahwa uang bukan segalanya tapi segalanya membutuhkan uang – Bebet memang bukan sendi utama dalam kriteria mencari jodoh karena filosofi Jawa sendiri mengatakan “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial merupakan kebutuhan dasar manusia sebagaimana teori Maslows tentang hierarki kebutuhan manusia yang meliputi ;
1. Kebutuhan bilologis dan fisiologis
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan untuk mencntai dan dicintai
4. Kebutuhan status sosial, dan
5. kebutuhan aktualisasi diri
Selanjutnya, sosok suami yang diidamkan untuk menjadi panutan menurut orang Jawa harus memenuhi 5 indikator (5N) :
1. Ngomahi, mampu menyediakan tempat tinggal yang layak.
2. Ngingoni, mampu memberi nafkah lahir.
3. Ngayomi, mampu memberi perlindungan dan rasa aman.
4. Ngayemi, mampu memberikan kesejukan dan kedamaian.
5. Ngeloni, mampu memberi nafkah batin.

Begitu juga sosok istri yang ideal harus memenuhi 5 indikator (5I) :
1. Bekti, patuh kepada suami.
2. Ati-Ati, berlaku waspada dan berhati-hati menjaga kehormatan
    diri dan kepercayaan suami.
3. Gemati/Gati, peduli dan perhatian dalam melayani suami,
    mendidik anak dan mengatur rumah tangga.
4. Gemi, hemat dan pandai dalam memanage ekonomi keluarga. ”.
5. Welas Asih, memiliki rasa sayang dan kasih.
Dalam Serat Yadnyasusila dijelaskan bahwa wanita idaman itu memiliki karakter  pandai merias diri (ngadi warni), memperindah busana (ngadi busana), berwajah ceria dan murah senyum (ngadi wadana), santun dalam bertutur kata (ngadi wicara), dan sopan serta luwes dalam berperilaku (ngadi solah bawa).
Pada hakikatnya,  sebagian besar filosofi Jawa itu bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang sudah menyatu dalam pola pikir dan pola laku orang-orang Jawa, yang mereka refleksikan dalam tradisi yang mereka jadikan sebagai pegangan hidup sehari-hari. Diantara hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai landasan filosofi Jawa tentang sosok suami/istri idaman adalah hadits Nabi yang berbunyi “Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya? Beliau menjawab: "Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan berpisah ranjang kecuali di dalam rumah sendiri." (H.R.Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, dan Ibnu Majah)
“Tidak ada keuntungan orang mukmin setelah taqwa kepada Allah yang lebih baik baginya dibanding mempunyai isteri yang shalihah/baik. Apabila dia (suami) menyuruhnya maka ditaati. Apabila dia (suami) melihatnya, maka isteri itu menggembirakannya. Apabila ia memberi bagian padanya maka dia menerimanya dengan baik. Dan apabila ia tidak ada di rumah maka isteri yang shalihah itu tetap memurnikan cintanya untuk sang suami dalam menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya.” (H.R. Ibnu Majah dari Abi Umamah berderajat hasan/ baik).
Begitu juga dengan konsep 3 B ini bersumber dari hadits rasululllah saw yang berbunyi ;
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima).
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan.
Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.
Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuk
o kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu ragil atau tumplak punjen.
Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pada pihak wanitanya, sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari hari “baik”, maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli hitungan hari “baik” berdasarkan patokan Primbon Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan istilah diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa yang akan membuat tubuh ideal dan singset.
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul) dan biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan dibawah genting. Dalam upacara pasang tarub yang terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang tarub, harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 – 9 orang). Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini selamat, yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur dan pendaringan (tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara berlangsung. Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan pohon pisang raja lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.
Siraman (pemandian) dilakukan sehari sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibu-ibu yang sudah berumur serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup, disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya ucapan “semoga selamat di dalam hidupnya”. Seusai upacara siraman, makan bersama berupa nasi dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan kol dan kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos serta daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan pelengkap sosis dan krupuk udang.
Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan yang mungkin karena malu). Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus disediakan kopi susu dan sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol, wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis.
Disaat sedang sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai langsung dilakukan upacara akad nikah.
Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin, yang setelah itu Penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa berbeda walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo dan gaya Yogya.
Misalnya dalam gaya Solo, di hari “H”nya, di sore hari. Tamu yang datang paling awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan bisa dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya bagi keluarga mampu), sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun berjajar di Pendopo (sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan gending Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi saat pengantin beserta pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending berhenti, dan para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di pendopo, ia disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih sejawat orang tuanya yang terpilih

Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki dituntun ke arah krobongan.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling melempar dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang siapa saja melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup perkawinannya akan menang selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang berdiri di sisi sebuah baskom isi air bercampur bunga. Di depan baskom di lantai terletak telur ayam, yang harus diinjak si laki-laki sampai pecah, dan setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga oleh si wanita sambil berjongkok. Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita menyelimutkan slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil berucap : Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi dua).
Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah sambil ditanya isterinya : Abot endi Pak? (berat mana Pak ?), yang dijawab sang suami : Podo ndene (sama saja).
Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si laki-laki duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun pengantin membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan, berlian) dan uang pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan yang telah memegang saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara terbuka. Inilah yang disebut kacar-kucur.
Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap makanan antara pengantin. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang dengan cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan. Setelah itu, dilakukan acara ngabekten (melakukan sembah) kepada orang tua pengantin perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk di krobongan dan disembah kedua pengantin).
Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu dan mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dsb.nya.

Kelahiran dan Mendewasakan Anak
Mupu, artinya memungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.
Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar mencari pisang raja sesisir yang buahnya hanya satu, sebab menurut gugon tuhon (takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan nuwuhaken (menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya. Anhinga, bisa dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak.
Pada saat si Ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika anaknya perempuan.
Sedangkan di saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan, diadakan hajatan nujuhbulan atau mitoni. Disiapkanlah sebuah kelapa gading yang digambari wayang dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih (supaya si bayi seperti Kamajaya jika laki-laki dan seperti Kamaratih jika perempuan), kuluban/gudangan/uraban (taoge, kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan lauk tambahan lainnya untuk makan nasi),dan rujak buah.
Disaat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.
Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului Ibu tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali. Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi diperkirakan laki-laki.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada Tuhan.
Slametan (syukuran) pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang terdiri dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu pedas tanda si bayi laki-laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus, singkong, jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh kluwih/timbul agar linuwih (kalau sudah besar terpandang). Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan slametan sepasaran, dengan jenis makanan sama dengan brokohan. Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi di potong sedikit dengan gunting dan bayi diberi nama, misalnya bernama  Risky Akbar Yuwono.
Saat diteliti di almanak Jawa tentang wukunya, ternyata  Risky Akbar Yuwono berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari rangkaian wuku yang berjumlah 30 (tiga puluh). Menurut wuku tolu maka Risky Akbar Yuwono berdewa Batara Bayu, ramah-tamah walau bisa berkeras hati, berpandangan luas, cekatan dalam menjalankan tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang hingga pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka pujian dan sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.
Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang pada pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35 (tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama saja dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan irisan telur ayam rebus dan bubur merah-putih.
Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.
Setelah si anak berusia menjelang sewindu atau 8 (delapan) tahun, belum juga mempunyai adik, maka perlu dilakukan upacara mengadakan wayang kulit yang biasa acara semacam ini dinamakan ngruwat agar bebas dari marabahaya Biasanya tentang cerita Kresno Gugah yang dilanjutkan dengan cerita Murwakala.
Saat menjelang remaja, tiba waktunya si anak untuk ditetaki/diselami/khitan/sunat. Setibanya di tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat : laramu tak sandang kabeh (sakitmu saya tanggung semua).
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan windon, dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 (delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka atau jaka, suaranya ngagor-agori (memberat). Saat berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup selama 4 (empat) windu, maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut tumbuk ageng.
Saat dewasa, banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang membawa cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai banyak pertimbangan yang antara lain : jangan mbokongi (menulang-punggungi sebab keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena perlu mikir praja (gengsi). Jangan kawin dengan sanak-famili walau untuk nggatukake balung apisah (menghubungkan kembali tulang-tulang terpisah/mempererat persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya cerai bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro (bangsawan) tapi jangan terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara dengan si anak serta sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki sebaiknya harus gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).

Kematian
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontroversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda. Jalan di depan bandosa disapu dengan menggunakan sapu lidi.
Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk (nasi uduk), tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule.
Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya.

Seni Tradisional
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata.
Selain pengaruh India, pengaruh Islam (yang disebarkan oleh para Wali) dan Dunia Barat (Kolonial) ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.
Kebudayaan Jawa klasik yang keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Candi Borobudur di dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten, candi Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak ternilai harganya.
Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan (arsitektur), seni busana, adat istiadat, dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
Wilayah budaya Negarigung yang mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisi kraton (Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari Timur ke Barat.
Sedangkan masyarakat wilayah Jawa Timur, merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisi kerajaan Kediri dan Majapahit (di barat dan selatan), kerajaan Madura di Pulau Madura serta budaya Bali di bagian timur (Banyuwangi).
Contoh seni budaya tradisional asli suku Jawa :
-       Gendhing dan gamelan (Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur).
-       Wayang Orang/Ketoprak (Jawa Tengah).
-       Ludruk (Jawa Timur).
-       Wayang Kulit (Jawa Tengah dan Timur).
-       Reog (Ponorogo).
-       Janger (Banyuwangi).
-       Kuda Lumping (Jawa Tengah : Jaranan, Jawa Timur : Jathilan).
-       Grebeg Suro.
-       Sekaten.
-       Maleman (Klaten tiap malam 21 Romadhon). Dll.
Gamelan Jawa adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada Gamelan Jawa berasal dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup, sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa.
Gamelan Jawa terdiri atas instrumen berikut:
-       Kendang
-       Bonang
-       Bonang Penerus
-       Demung
-       Saron
-       Peking (Gamelan)
-       Kenong & Kethuk
-       Slenthem
-       Gender
-       Gong
-       Gambang
-       Rebab
-       Siter
-       Suling
-       Kempul













BAB III
KESIMPULAN


Dalam keseharian kita, kita telah terbiasa menyebutkan suku Jawa adalah untuk mengidentifikasi suku yang berasal dari Jawa Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan kebiasaan mereka dapat dikatakn hampir mirip. Sedangkan suku yang berasal dari Jawa Barat tidak termasuk ke dalam suku Jawa, meskipun sebenarnya mereka berasal dari Pulau Jawa. Mereka biasa disebut suku Sunda.
Kebiasaan adat istiadat suku Jawa selalu mewarnai di dalam tingkah laku dari kelahiran, perkawinan hingga kematian.
Orang suku Jawa biasanya dikenal dengan keramahtamahan, kelambanan, tolernsi dan kelemahlembutannya. Akan tetapi tidak semua orang Jawa lamban, tergantung orangnya. Banyak orang Jawa yang berani bertindak tegas dan cepat (trampil-trengginas-tanggap-tanggon). Apalagi jika demi tujuan luhur dan membela rakyat banyak, miskin, dan tertindas. Orang Jawa berani tampil menjadi pahlawan. Contohnya? Banyak! Para perintis kemerdekaan rela dipenjara, dibuang. Bahkan banyak rakyat kecil yang berani cepat bertindak dan berani mati demi rakyat banyak (Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya). Di mana letak rahasianya? Sifat jujur! Orang-orang jujur berani mati, sebaliknya, orang yang tak jujur, tak berani mati. Apalagi koruptor gede kaya raya, amat takut mati. Mungkin dia kira, malaikat pencabut nyawa, bisa disogok!
Banyak falsafah dan perilaku kebiasaan suku Jawa yang sebaiknya dapat kita tiru dalam kehidupan kita sehari-hari.





BAB V           
PENUTUP


Demikian, sedikit uraian yang dapat Kami paparkan dalam Makalah “Mengenal dan Mengetahui Adat Istiadat, Kebiasaan serta Karakteristik Masyarakat Suku Jawa”, semoga hal yang sedikit ini dapat memberi manfaat besar bagi seluruh pembaca. Amin.

















REFERENSI            

  1. http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa diakses pada 25 Mei 2012
  2. http://sosbud.kompasiana.com/2012/1/08/andhap_ashor_karateristik_perilaku_orang_jawa diakses pada 25 Mei 2012
  3. http://sosbud.kompasiana.com/2011/4/15/benrkah_sifat_orang_jawa_itu_lamban diakses pada 25 Mei 2012
  4. http://id.wikipedia.org/wiki/gamelan_jawa diakses pada 25 Mei 2012
  5. http://id.wikipedia.org/wiki/suriname diakses pada 25 Mei 2012
  6. http://id.wikimedia.org/wiki/suku_jawa diakses pada 25 Mei 2012