WARAS
By RH
Mungkin sudah ratusan kilometer atau bahkan mungkin sudah
ribuan kilometer aku berjalan menyusuri jalanan. Entahlah, aku... aku tidak sempat untuk mencatatnya dalam buku
harian yang selalu tersimpan rapi di dalam tas punggung bututku.
Aku merasa... jalanan ini tiada berujung, tiada
berpangkal...
Dari jauhnya perjalanan yang telah kutempuh, banyak
cerita, manusia dan pengalaman yang pernah
kujumpai.
Suatu hari, disiang yang terik. Aku berjalan
menyusuri jalan aspal yang agak ramai
oleh lalu lalang kendaraan. Mengingat panas yang terik, kupercepat jalanku. Di
depan nampak sebuah mobil mewah warna hitam yang searah denganku. Namun
jalannya lebih lambat dari langkah kakiku. Jika beradu cepat, kecepatannya
tidak mungkin mampu menandingi langkahku. Mungkin pengemudinya berfikir, dengan
melambatkan kendaraannya ia akan dapat menghemat bahan bakar. Aku sudah tahu bahwa orang kaya itu pengiritan
dari hanya dari caranya mengendarai mobil saja.
“Huh... dasar orang kaya yang miskin! Beli mobil mampu,
tapi beli minyak pengiritan!” omelku ketika itu.
Mereka membeli ‘minum’ untuk mobilnya dengan menyerobot
jatah orang kurang mampu. Akibatnya, premium bersubsidi kian langka! Jikalau
ada, harganya pun bukan harga bersubsidi lagi.
Atau memang demikiankah caranya? Dengan pengiritan bahkan
nyaris mendekati medit, maka orang akan bisa
menjadi kaya raya?!
Ketika aku tepat berada di samping mobil itu, seseorang
di dalam mobil mewah itu membuka jendela, kemudian melemparkan sesuatu yang
hampir mengenai wajahku.
“Kurang asem...! dasar orang kaya gila...!” makiku tak
karuan.
Seolah tak mendengar makianku, mobil itu tetap melaju
dengan santainya.
Tanpa ragu, kupungut kantong plastik yang dibuang orang
kaya itu. Siapa tahu kantong plastik itu berisi emas atau berlian, atau berisi harta
karun yang memang sudah tak dibutuhkannya lagi.
Perlahan, kubuka kantong itu dengan hati-hati. Ternyata di
dalamnya hanya berisi sampah dan botol bekas
air mineral.
“Dasar orang kaya goblok...! inikan bisa jadi duit...!”
batinku dengan tersenyum licik seraya memasukkannya ke dalam tas punggungku.
Dihari yang lain pernah kujumpai seorang ibu yang
memukuli anaknya menggunakan sapu. Anak itu menangis sejadi-jadinya. Entah sumpah
serapah, caci maki dan omelan apa yang keluar dari mulut ibu itu... aku juga
tidak sempat mencatat semuanya. Aku masih terlalu sibuk.
“Anak enggak bisa diatur...! kerjaannya cuma bisa main
saja...! tidak bisa disuruh! rugi emak ngelahirin kamu...!” cerocos mulut ibu
itu sembari tangannya tak henti mengayunkan sapu memukuli anak perempuan yang
menurut taksiranku mungkin masih berusia enam tahunan.
“Dasar ibu edan...! banyak orang bertahun-tahun berkeluarga,
tapi tidak dipercaya oleh Tuhan untuk mendapatkan anak... tapi ibu ini malah
gak kepingin punya anak...!” batinku sambil geleng-geleng kepala.
“Banyak keluarga yang mendamba kehadiran seorang anak,
hingga rela melakukan apa saja. Bahkan menyambangi dukun cabul sekalipun...
tapi ibu itu? Dia malah mengharapkan kehadiran seorang babu!”
“Anak seusia itu, memang masih sewajarnya senang bermain.
Ia masih dalam masa bersosialisasi dengan lingkungannya...” Batinku menyalahkan
ibu itu lagi.
“Awas kamu bu... kalau dalam perjalananku nanti aku bertemu dengan Kak Seto atau Bang Aris,
akan kuadukan kejadian ini kepada mereka. Biar tahu rasa kamu!” gumamku sembari
tersenyum bengis.
Dihari yang lainnya lagi, aku masih tetap menyusuri
jalanan yang rasa-rasanya kemarin pernah kulalui.
“Duk..!” jantungku serasa berhenti berdetak. Nadiku
seakan istirahat berdenyut.
Dari lawan arah kulihat sebuah mobil patroli polisi yang
berjalan agak melambat.
Secara reflek langkahku juga jadi melambat... gerakan
ilalang juga ikut melambat... gerak pepohonan juga ikut-ikutan melambat... semisal
gerak lambat dalam sebuah film kungfu. Semuanya serba slow motion.
“Seeeettt...” Sempat kulirik mobil itu, juga dengan
gerakan ekor mata yang lambat. Seketika kututupi wajahku dengan ‘sisir lima
jariku’. Aku takut apabila ternyata di dalamnya ada orang yang mengenaliku. Aku
takut apabila ternyata di dalamnya ada segerombolan pasukan yang ingin
menangkapku. Karena mengingat kesibukanku selama ini, aku belum sempat mencukur kumis dan
jenggotku. Sekilas aku pernah melihat, dalam sebentuk gambar dan tulisan yang
dipaku di sebuah pohon tak berdosa. Di situ tertulis tentang buronan teroris dengan gambar yang rada-rada
mirip denganku. Rambut gimbal semrawut, kumis lebat, serta jenggot panjang tak
terurus.
Tapi aku patut bersyukur dan bernafas lega, karena setelah mandi kemarin pagi, aku masih sempat
menyisir rambutku menggunakan sisir cap lima jariku, memborehkan daun pandan di
kedua ketiakku agar harum mewangi, megusapkan sedikit ludah pada jambul rambutku
agar tampak trendi, sedangkan kumis dan jenggotku? Sebenarnya bukannya tak rapi, akan
tetapi hanya sekedar tumbuhnya saja yang aku rasa tak beraturan.
Dan ternyata, kekhawatiranku sedari tadi memang tak
terbukti. Di dalam mobil polisi itu tidak
ada sepasukan yang akan menangkapku. Di belakang kemudi duduk seorang pria ber-uniform
polisi nampak asyik mengemudi. Tangan kiri memegang kemudi, sementara telapak tangan
kanan menutupi telinganya sembari bicara
dan tertawa-tawa sendiri.
“Dasar polisi gemblung...! ngomong sendiri, tertawa
sendiri...! kalau ada yang ketabrak bisa nyusahin suster rumah sakit tau..!”
ejekku kepada polisi itu.
Namun tetap saja polisi itu berlalu tanpa mempedulikan
aku.
Dilain kesempatan, pernah kutemui beberapa orang yang mengendarai
sepeda motor dengan ugal-ugalan. Tanpa helm mereka berkendara seolah menjadi
penguasa jalanan.
“Dasar orang sinting...!” caciku, tentu saja setelah
mereka berlalu.
Aku yang tidak pernah kuliahpun tahu, jalan ini bukanlah
milik moyang mereka. Kerasnya kepala merekapun tidaklah lebih keras dari aspal.
Tapi mereka berlaku seolah aspal ini adalah kasur.
Cuek aku bergumam, “biar mereka mati celaka, penggali
kubur biar tidak nganggur...”
Mungkin mereka lupa atau orang tuanya tidak pernah
mengingatkan, bahwa motor yang mereka kendarai belumlah lunas cicilan kreditnya.
Indonesia... Indonesia..., sudah sekian puluh tahun
merdeka... tapi warganya masih mau saja dijajah bangsa lain. Rugi para pahlawan
mengorbankan nyawa karena jasanya hanya diingat saat tujuh belasan saja.
Orang-orang itu tiap hari kerja keras banting tulang. Mereka
mencari uang hanya untuk memiliki kendaraan buatan bangsa lain, yang aku yakin bila dijual lagi nilainya pasti
takkan mungkin bertambah mahal.
Mendingan seperti aku, berjalan kaki ke mana-mana.
Badanku jadi sehat. “Tidak gampang mati mendadak dengan memegangi dada
seperti yang dialami kebanyakan orang kaya.”
Sebenarnya kekhawatiranku mengenai kecelakaan lalu lintas
cukup beralasan. Aku pernah melihat seorang pemuda meregang nyawa. Kepalanya
pecah terbentur ujung trotoar. Ia terkapar di pinggir jalan dekat sebuah halte
taman.
Pemuda jangkung itu tertabrak sebuah truk barang setelah
ia menyelamatkan seorang anak kecil yang terjatuh di tengah jalan. Sungguh
pengorbanan yang teramat besar. Seseorang yang mau mengorbankan nyawa demi
menyelamatkan nyawa yang lainnya. Ironisnya... tidak ada seorangpun yang
tergerak hatinya untuk berusaha menyelamatkan nyawa pemuda jangkung itu. Aku
rasa saat ini sangat jarang orang Indonesia yang berjiwa seperti pemuda itu.
Aku menundukkan kepala untuk pemuda itu...
Cobaa... di negara ini tidak usah ada kendaraan...
Dihari yang lain dan lainnya lagi aku masih tetap
berjalan...
Pernah aku dikejar-kejar anak-anak yang mungkin lagi
bolos sekolah. Mereka mengata-ngatai bahwa aku orang gila.
“Pergi semuaaa...!” usirku.
“Dasar anak tak beradab... sekolah mahal-mahal tak pernah
diajari tata krama...!” teriakku lagi sembari meludahi mereka.
Tapi bukannya lari, mereka malah melempariku dengan kayu,
kerikil dan batu. Tidak ada satupun anak
yang melempariku dengan uang!
“Bocah edaan...! kerjaannya mengganggu orang waras saja!”
umpatku.
Memang sekolah zaman sekarang sudah kehilangan ruhnya...,
guru mengajar murid hanya untuk mengejar target nilai akademis saja. Yang
penting murid lulus 100%. Apapun dan bagaimanapun caranya. Setelah luluspun, ternyata
ijazah yang mereka dapat masih diragukan keabsahannya. Buktinya apabila mereka ingin
melanjutkan sekolah, maka ijazah itu harus dilegalisasi. Padahal ijazah itu
nota benenya dikeluarkan oleh sistem pendidikan juga... kasihan nasib mereka...
pemuda generasi penerus bangsa...
Dihari yang lain dan lain dan lainnya lagi, kujumpai
beberapa ibu-ibu muda dan setengah baya. Jumlah mereka sekitar enam atau tujuh orang,
kali ini kusempatkan menghitungnya. Diantara mereka ada yang cantik, setengah
cantik dan setengah hancur. Mereka duduk berbaris rapi laksana orang yang
menunggu giliran untuk mendapatkan jatah Bantuan Langsung Tunai. Yang duduk di belakang menyibak-nyibakkan rambut perempuan di
depannya, perempuan yang di depannya menyibak-nyibakkan lagi rambut perempuan
di depannya lagi, demikian seterusnya. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dicari-cari
pada kepala temannya dan kurasa tidak mungkin mereka mencari sebongkah emas di
sana. Secara samar aku sempat mendengar percakapan mereka... ternyata mereka
sedang membicarakan aib suami tetangga yang tidak ikut nimbrung dalam barisan
mereka.
Sejurus kemudian pembicaraan mereka beralih menghujat Tuhan
yang setiap hari hanya memberi sedikit rezeki kepada suami-suami mereka.
Kadangkala mereka tertawa-tawa ketika disela obrolan mereka terselip
cerita-cerita jorok yang hanya patut diketahui diri mereka sendiri dan
suaminya...
“Huuh... Dasar perempuan-perempuan kurang kerjaan! Pantas
saja Indonesia tidak lekas maju! Dari pada bergunjing, mendingan mereka lebih
memperhatikan keluarganya... mendidik anak laki-laki agar tidak terjerumus
narkoba, mendidik anak-anak perempuan agar tidak terjerumus ke lembah nista,
memberikan kasih sayang kepada suami agar sang suami tidak mencari kasih sayang
di tempat lain, atau membuat sesuatu yang bisa jadi duit, agar suaminya tidak
jadi maling atau koruptor, dan agar mereka tidak menghujat Tuhan lagi...!”
omelku dengan sinis.
“Apa mereka tidak sadar, suara mereka sudah mengganggu
tidur siang orang lain?” omelku lagi lantas menjauh mencari tempat untuk tidur.
Dilain kesempatan pernah aku menjumpai beberapa pria yang
duduk melingkar di sebuah pos ronda. Mereka nampak serius memelototi
lembaran-lembaran kertas kecil yang ada di tangan mereka. Sementara beberapa
lembar kertas kecil yang lain nampak bertebaran di tengah mereka ditingkahi
beberapa lembar uang yang ada di antaranya. Kadang kala terdengar teriakan
senang yang keluar dari mulut salah seorang di antara mereka. Kadang kala yang
lain, terdengar teriakan kecewa.
Hmm.. salah satu di antara para pria itu rasanya aku
pernah melihatnya... ya... aku rasa aku mengenalnya...
“Oh iya! Polisi itu... pasti tidak salah! polisi yang
sakit kuping itu!” teriakku dalam hati sembari menutupi muka dengan sisir lima
jariku.
Dari antara sela-sela jari kuintip lagi pria itu, sekedar
meyakinkan diri. Ternyata memang wajahnya tidak berubah, dia si polisi yang
sakit kuping itu.
Kenapa dia ada di sini? Bukankah seharusnya ia menggelandang
para penjudi itu ke tahanan? Ataukah
ruangan penjara sudah terlalu penuh sesak terisi para koruptor, sehingga golongan
para penjudi tidak muat lagi untuk ikut masuk ke dalamnya?
Ah... aku tahu... mungkin polisi itu lagi menyaru.
Mungkin ia masih melaksanakan tugas dari atasannya untuk menangkap koruptor
atau gembong teroris?
Kali ini tanpa komentar apapun aku berlalu... menyingkir
menghindari polisi itu.
Pagi ini aku sedang sedang libur dari perjalananku. Aku beristirahat
di dalam gerbong kereta yang sudah lama tak difungsikan. Bias cahaya mentari
belum genap membentuk sudut sempurna dari balik jendela.
“Haaaah... pagi yang ceria untuk bermalas-malasan.”
“Sekali-kali, perlu juga aku memanjakan diri agar kondisi
tubuhku tetap sehat,” batinku.
Namun pagiku yang cerah ini tak berlangsung lama. Di luar
terdengar suara gaduh. Suara ribut itu seperti berasal dari balik tembok pagar
stasiun ini.
Dengan penuh rasa penasaran aku naik ke atas gerbong
untuk melihat keadaan di balik pagar.
“Ada apa ini... apa yang kalian lakukan pada anakku...!”
bentak seorang perempuan kurus dengan suara parau.
“Minggir kamu! Kami harus membawa anakmu. Dia mengganggu
ketertiban umum!” hardik salah seorang berseragam.
“Anakku bukan pencuri...! anakku bukan koruptor...! Dia hanya mencari uang halal untuk makan kami...!
Jangan bawa anakku...!“ perempuan kurus bersuara parau itu kalap sambil
memukuli orang-orang berseragam dengan menggunakan galah di tangannya.
Namun apalah daya seorang perempuan kurus dibanding
lelaki berseragam.
“Diam...! minggir kamu...!” berkata demikian seorang
berseragam sembari mendorong perempuan kurus itu dan kemudian mencengkeram
tangan seorang anak kecil yang tadi berlindung di balik badan perempuan kurus
itu.
Akibatnya perempuan kurus itu terjatuh ke dalam sungai...
dengan tanpa suara, tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan... tidak ada seorangpun
yang mencoba menolongnya.
“Simboook...!” teriak anak kecil dalam cengkeraman lelaki berseragam itu
dengan pilu.
Ia berusaha melepaskan diri.
“Manusia-manusia biadab! tak berperikemanusiaan, hanya
berani kepada wanita dan anak-anak!” batinku.
***
Aku sungguh merasa heran dengan tingkah polah orang-orang
yang pernah kujumpai, mereka selalu menyebutku kurang waras. Padahal bagiku, sebenarnya
orang-orang yang pernah kujumpai itulah yang benar-benar sinting. Aku tidak
gila... aku masih waras... aku masih
ingat bagaimana caranya mandi... batu kali kujadikan sabun, daun pandan
kujadikan minyak wangi... rambutku selalu rapi dengan sisir cap lima jari... jambul
selalu kutegakkan dengan sedikit ludah... hanya kumis dan jenggotku saja yang
belum sempat kucukur karena saat itu aku masih terlalu sibuk... sibuk menyusuri
jalanan...
Tapi mengapa orang-orang itu tega mengurungku di dalam
ruangan pengap ini ya...? apa salah dan dosaku?
Dasar orang-orang stress... kurang waras!
“Hmmm... tapi dengan mereka
mengurungku di sini, aku jadi tidak sesibuk dulu lagi. Aku jadi punya
kesempatan untuk menuliskan kisah perjalananku... aku jadi punya banyak waktu
untuk sekedar mengingat-ingat siapakah namaku...”
“Mungkin Rido, teman satu kamarku ini bisa membantu...
dia nampak seperti orang kuliahan...” Demikian kata batinku dengan bangga sembari
menepuk-nepuk pundaknya.
Sementara orang di depanku yang barusan kutepuk-tepuk
pundaknya itu mendongakkan kepala sembari tersenyum... bego...
***
Nunggu bis di Simpang Pematang, 17 Februari 2012, 9.55
WIB
Untunglah kali ini aku sedang tidak lupa dan tidak sibuk,
untuk sekedar mencatat cerpen ini
di buku harian yang selalu tersimpan rapi di dalam tas bututku ini...
he..he..he..
CATATAN :
Simbok : (bhs Jawa) ibu
To Istri n anak-anak, ayah
masih waras kok...
Trims to mbk Am n mbk
Anyun atas editan n ide segarnya...