Kamis, 17 Januari 2013

Intermezo




WARAS
By RH


Mungkin sudah ratusan kilometer atau bahkan mungkin sudah ribuan kilometer aku berjalan menyusuri jalanan. Entahlah, aku...  aku tidak sempat untuk mencatatnya dalam buku harian yang selalu tersimpan rapi di dalam tas punggung bututku.
Aku merasa... jalanan ini tiada berujung, tiada berpangkal...
Dari jauhnya perjalanan yang telah kutempuh, banyak cerita, manusia  dan pengalaman yang pernah kujumpai.

Suatu hari, disiang yang terik. Aku berjalan menyusuri  jalan aspal yang agak ramai oleh lalu lalang kendaraan. Mengingat panas yang terik, kupercepat jalanku. Di depan nampak sebuah mobil mewah warna hitam yang searah denganku. Namun jalannya lebih lambat dari langkah kakiku. Jika beradu cepat, kecepatannya tidak mungkin mampu menandingi langkahku. Mungkin pengemudinya berfikir, dengan melambatkan kendaraannya ia akan dapat menghemat bahan bakar.  Aku sudah tahu bahwa orang kaya itu pengiritan dari hanya dari caranya mengendarai mobil saja.
“Huh... dasar orang kaya yang miskin! Beli mobil mampu, tapi beli minyak pengiritan!” omelku ketika itu.
Mereka membeli ‘minum’ untuk mobilnya dengan menyerobot jatah orang kurang mampu. Akibatnya, premium bersubsidi kian langka! Jikalau ada, harganya pun bukan harga bersubsidi lagi.
Atau memang demikiankah caranya? Dengan pengiritan bahkan nyaris mendekati medit, maka  orang akan bisa menjadi kaya raya?!
Ketika aku tepat berada di samping mobil itu, seseorang di dalam mobil mewah itu membuka jendela, kemudian melemparkan sesuatu yang hampir mengenai wajahku.
“Kurang asem...! dasar orang kaya gila...!” makiku tak karuan.
Seolah tak mendengar makianku, mobil itu tetap melaju dengan santainya.
Tanpa ragu, kupungut kantong plastik yang dibuang orang kaya itu. Siapa tahu kantong plastik itu berisi emas atau berlian, atau berisi harta karun yang memang sudah tak dibutuhkannya lagi.
Perlahan, kubuka kantong itu dengan hati-hati. Ternyata di dalamnya hanya berisi sampah dan  botol bekas air mineral.
“Dasar orang kaya goblok...! inikan bisa jadi duit...!” batinku dengan tersenyum licik seraya memasukkannya ke dalam tas punggungku.
Dihari yang lain pernah kujumpai seorang ibu yang memukuli anaknya menggunakan sapu. Anak itu menangis sejadi-jadinya. Entah sumpah serapah, caci maki dan omelan apa yang keluar dari mulut ibu itu... aku juga tidak sempat mencatat semuanya. Aku masih terlalu sibuk.
“Anak enggak bisa diatur...! kerjaannya cuma bisa main saja...! tidak bisa disuruh! rugi emak ngelahirin kamu...!” cerocos mulut ibu itu sembari tangannya tak henti mengayunkan sapu memukuli anak perempuan yang menurut taksiranku mungkin masih berusia enam tahunan.
“Dasar ibu edan...! banyak orang bertahun-tahun berkeluarga, tapi tidak dipercaya oleh Tuhan untuk mendapatkan anak... tapi ibu ini malah gak kepingin punya anak...!” batinku sambil geleng-geleng kepala.
“Banyak keluarga yang mendamba kehadiran seorang anak, hingga rela melakukan apa saja. Bahkan menyambangi dukun cabul sekalipun... tapi ibu itu? Dia malah mengharapkan kehadiran seorang babu!”
“Anak seusia itu, memang masih sewajarnya senang bermain. Ia masih dalam masa bersosialisasi dengan lingkungannya...” Batinku menyalahkan ibu itu lagi.
“Awas kamu bu... kalau dalam perjalananku nanti  aku bertemu dengan Kak Seto atau Bang Aris, akan kuadukan kejadian ini kepada mereka. Biar tahu rasa kamu!” gumamku sembari tersenyum bengis.
Dihari yang lainnya lagi, aku masih tetap menyusuri jalanan yang rasa-rasanya kemarin pernah kulalui.
“Duk..!” jantungku serasa berhenti berdetak. Nadiku seakan istirahat berdenyut.
Dari lawan arah kulihat sebuah mobil patroli polisi yang berjalan agak melambat.
Secara reflek langkahku juga jadi melambat... gerakan ilalang juga ikut melambat... gerak pepohonan juga ikut-ikutan melambat... semisal gerak lambat dalam sebuah film kungfu. Semuanya serba slow motion.
“Seeeettt...” Sempat kulirik mobil itu, juga dengan gerakan ekor mata yang lambat. Seketika kututupi wajahku dengan ‘sisir lima jariku’. Aku takut apabila ternyata di dalamnya ada orang yang mengenaliku. Aku takut apabila ternyata di dalamnya ada segerombolan pasukan yang ingin menangkapku. Karena mengingat kesibukanku selama ini,  aku belum sempat mencukur kumis dan jenggotku. Sekilas aku pernah melihat, dalam sebentuk gambar dan tulisan yang dipaku di sebuah pohon tak berdosa. Di situ tertulis  tentang buronan teroris dengan gambar yang rada-rada mirip denganku. Rambut gimbal semrawut, kumis lebat, serta jenggot panjang tak terurus.
Tapi aku patut bersyukur dan bernafas lega, karena  setelah mandi kemarin pagi, aku masih sempat menyisir rambutku menggunakan sisir cap lima jariku, memborehkan daun pandan di kedua ketiakku agar harum mewangi, megusapkan sedikit ludah pada jambul rambutku agar tampak trendi, sedangkan kumis dan  jenggotku? Sebenarnya bukannya tak rapi, akan tetapi hanya sekedar tumbuhnya saja yang aku rasa tak beraturan.
Dan ternyata, kekhawatiranku sedari tadi memang tak terbukti.  Di dalam mobil polisi itu tidak ada sepasukan yang akan menangkapku. Di belakang kemudi duduk seorang pria ber-uniform polisi nampak asyik mengemudi. Tangan kiri memegang kemudi, sementara telapak tangan kanan menutupi telinganya sembari  bicara dan tertawa-tawa sendiri.
“Dasar polisi gemblung...! ngomong sendiri, tertawa sendiri...! kalau ada yang ketabrak bisa nyusahin suster rumah sakit tau..!” ejekku kepada polisi itu.
Namun tetap saja polisi itu berlalu tanpa mempedulikan aku.
Dilain kesempatan, pernah kutemui beberapa orang yang mengendarai sepeda motor dengan ugal-ugalan. Tanpa helm mereka berkendara seolah menjadi penguasa jalanan.
“Dasar orang sinting...!” caciku, tentu saja setelah mereka berlalu.
Aku yang tidak pernah kuliahpun tahu, jalan ini bukanlah milik moyang mereka. Kerasnya kepala merekapun tidaklah lebih keras dari aspal.
Tapi mereka berlaku seolah aspal ini adalah kasur.
Cuek aku bergumam, “biar mereka mati celaka, penggali kubur biar tidak nganggur...”
Mungkin mereka lupa atau orang tuanya tidak pernah mengingatkan, bahwa motor yang mereka kendarai belumlah lunas cicilan kreditnya.
Indonesia... Indonesia..., sudah sekian puluh tahun merdeka... tapi warganya masih mau saja dijajah bangsa lain. Rugi para pahlawan mengorbankan nyawa karena jasanya hanya diingat saat tujuh belasan saja.
Orang-orang itu tiap hari kerja keras banting tulang. Mereka mencari uang hanya untuk memiliki kendaraan buatan bangsa lain,  yang aku yakin bila dijual lagi nilainya pasti takkan mungkin bertambah mahal.
Mendingan seperti aku, berjalan kaki ke mana-mana. Badanku jadi sehat. “Tidak gampang mati mendadak dengan memegangi dada seperti yang dialami kebanyakan orang kaya.”
Sebenarnya kekhawatiranku mengenai kecelakaan lalu lintas cukup beralasan. Aku pernah melihat seorang pemuda meregang nyawa. Kepalanya pecah terbentur ujung trotoar. Ia terkapar di pinggir jalan dekat sebuah halte taman.
Pemuda jangkung itu tertabrak sebuah truk barang setelah ia menyelamatkan seorang anak kecil yang terjatuh di tengah jalan. Sungguh pengorbanan yang teramat besar. Seseorang yang mau mengorbankan nyawa demi menyelamatkan nyawa yang lainnya. Ironisnya... tidak ada seorangpun yang tergerak hatinya untuk berusaha menyelamatkan nyawa pemuda jangkung itu. Aku rasa saat ini sangat jarang orang Indonesia yang berjiwa seperti pemuda itu. Aku menundukkan kepala untuk pemuda itu...
Cobaa... di negara ini tidak usah ada kendaraan...
Dihari yang lain dan lainnya lagi aku masih tetap berjalan...
Pernah aku dikejar-kejar anak-anak yang mungkin lagi bolos sekolah. Mereka mengata-ngatai bahwa aku orang  gila.
“Pergi semuaaa...!” usirku.
“Dasar anak tak beradab... sekolah mahal-mahal tak pernah diajari tata krama...!” teriakku lagi sembari meludahi mereka.
Tapi bukannya lari, mereka malah melempariku dengan kayu,  kerikil dan batu. Tidak ada satupun anak yang melempariku dengan uang!
“Bocah edaan...! kerjaannya mengganggu orang waras saja!” umpatku.
Memang sekolah zaman sekarang sudah kehilangan ruhnya..., guru mengajar murid hanya untuk mengejar target nilai akademis saja. Yang penting murid lulus 100%. Apapun dan bagaimanapun caranya. Setelah luluspun, ternyata ijazah yang mereka dapat masih diragukan keabsahannya. Buktinya apabila mereka ingin melanjutkan sekolah, maka ijazah itu harus dilegalisasi. Padahal ijazah itu nota benenya dikeluarkan oleh sistem pendidikan juga... kasihan nasib mereka... pemuda generasi penerus bangsa...
Dihari yang lain dan lain dan lainnya lagi, kujumpai beberapa ibu-ibu muda dan setengah baya. Jumlah mereka sekitar enam atau tujuh orang, kali ini kusempatkan menghitungnya. Diantara mereka ada yang cantik, setengah cantik dan setengah hancur. Mereka duduk berbaris rapi laksana orang yang menunggu giliran untuk mendapatkan jatah Bantuan Langsung Tunai. Yang duduk di belakang  menyibak-nyibakkan rambut perempuan di depannya, perempuan yang di depannya menyibak-nyibakkan lagi rambut perempuan di depannya lagi, demikian seterusnya. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dicari-cari pada kepala temannya dan kurasa tidak mungkin mereka mencari sebongkah emas di sana. Secara samar aku sempat mendengar percakapan mereka... ternyata mereka sedang membicarakan aib suami tetangga yang tidak ikut nimbrung dalam barisan mereka.
Sejurus kemudian pembicaraan mereka beralih menghujat Tuhan yang setiap hari hanya memberi sedikit rezeki kepada suami-suami mereka. Kadangkala mereka tertawa-tawa ketika disela obrolan mereka terselip cerita-cerita jorok yang hanya patut diketahui diri mereka sendiri dan suaminya...
“Huuh... Dasar perempuan-perempuan kurang kerjaan! Pantas saja Indonesia tidak lekas maju! Dari pada bergunjing, mendingan mereka lebih memperhatikan keluarganya... mendidik anak laki-laki agar tidak terjerumus narkoba, mendidik anak-anak perempuan agar tidak terjerumus ke lembah nista, memberikan kasih sayang kepada suami agar sang suami tidak mencari kasih sayang di tempat lain, atau membuat sesuatu yang bisa jadi duit, agar suaminya tidak jadi maling atau koruptor, dan agar mereka tidak menghujat Tuhan lagi...!” omelku dengan sinis.
“Apa mereka tidak sadar, suara mereka sudah mengganggu tidur siang orang lain?” omelku lagi lantas menjauh mencari tempat untuk tidur.
Dilain kesempatan pernah aku menjumpai beberapa pria yang duduk melingkar di sebuah pos ronda. Mereka nampak serius memelototi lembaran-lembaran kertas kecil yang ada di tangan mereka. Sementara beberapa lembar kertas kecil yang lain nampak bertebaran di tengah mereka ditingkahi beberapa lembar uang yang ada di antaranya. Kadang kala terdengar teriakan senang yang keluar dari mulut salah seorang di antara mereka. Kadang kala yang lain, terdengar teriakan kecewa.
Hmm.. salah satu di antara para pria itu rasanya aku pernah melihatnya... ya... aku rasa aku mengenalnya...  
“Oh iya! Polisi itu... pasti tidak salah! polisi yang sakit kuping itu!” teriakku dalam hati sembari menutupi muka dengan sisir lima jariku.
Dari antara sela-sela jari kuintip lagi pria itu, sekedar meyakinkan diri. Ternyata memang wajahnya tidak berubah, dia si polisi yang sakit kuping itu.
Kenapa dia ada di sini? Bukankah seharusnya ia menggelandang  para penjudi itu ke tahanan? Ataukah ruangan penjara sudah terlalu penuh sesak terisi para koruptor, sehingga golongan para penjudi tidak muat lagi untuk ikut masuk ke dalamnya?
Ah... aku tahu... mungkin polisi itu lagi menyaru. Mungkin ia masih melaksanakan tugas dari atasannya untuk menangkap koruptor atau gembong teroris?
Kali ini tanpa komentar apapun aku berlalu... menyingkir menghindari polisi itu.
Pagi ini aku sedang sedang libur dari perjalananku. Aku beristirahat di dalam gerbong kereta yang sudah lama tak difungsikan. Bias cahaya mentari belum genap membentuk sudut sempurna dari balik jendela.
“Haaaah... pagi yang ceria untuk bermalas-malasan.”
“Sekali-kali, perlu juga aku memanjakan diri agar kondisi tubuhku tetap sehat,” batinku.
Namun pagiku yang cerah ini tak berlangsung lama. Di luar terdengar suara gaduh. Suara ribut itu seperti berasal dari balik tembok pagar stasiun ini.
Dengan penuh rasa penasaran aku naik ke atas gerbong untuk melihat keadaan di balik pagar.
“Ada apa ini... apa yang kalian lakukan pada anakku...!” bentak seorang perempuan kurus dengan suara parau.
“Minggir kamu! Kami harus membawa anakmu. Dia mengganggu ketertiban umum!” hardik salah seorang berseragam.
“Anakku bukan pencuri...! anakku bukan koruptor...!  Dia hanya mencari uang halal untuk makan kami...! Jangan bawa anakku...!“ perempuan kurus bersuara parau itu kalap sambil memukuli orang-orang berseragam dengan menggunakan galah di tangannya.
Namun apalah daya seorang perempuan kurus dibanding lelaki berseragam.
“Diam...! minggir kamu...!” berkata demikian seorang berseragam sembari mendorong perempuan kurus itu dan kemudian mencengkeram tangan seorang anak kecil yang tadi berlindung di balik badan perempuan kurus itu.
Akibatnya perempuan kurus itu terjatuh ke dalam sungai... dengan tanpa suara, tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan... tidak ada seorangpun yang mencoba menolongnya.
“Simboook...!” teriak anak kecil dalam cengkeraman lelaki berseragam itu dengan pilu.
Ia berusaha melepaskan diri.
“Manusia-manusia biadab! tak berperikemanusiaan, hanya berani kepada wanita dan anak-anak!” batinku.

***

Aku sungguh merasa heran dengan tingkah polah orang-orang yang pernah kujumpai, mereka selalu menyebutku kurang waras. Padahal bagiku, sebenarnya orang-orang yang pernah kujumpai itulah yang benar-benar sinting. Aku tidak gila... aku masih waras...  aku masih ingat bagaimana caranya mandi... batu kali kujadikan sabun, daun pandan kujadikan minyak wangi... rambutku selalu rapi dengan sisir cap lima jari... jambul selalu kutegakkan dengan sedikit ludah... hanya kumis dan jenggotku saja yang belum sempat kucukur karena saat itu aku masih terlalu sibuk... sibuk menyusuri jalanan...
Tapi mengapa orang-orang itu tega mengurungku di dalam ruangan pengap ini ya...? apa salah dan dosaku?

Dasar orang-orang stress... kurang waras!

            “Hmmm... tapi dengan mereka mengurungku di sini, aku jadi tidak sesibuk dulu lagi. Aku jadi punya kesempatan untuk menuliskan kisah perjalananku... aku jadi punya banyak waktu untuk sekedar mengingat-ingat siapakah namaku...”
“Mungkin Rido, teman satu kamarku ini bisa membantu... dia nampak seperti orang kuliahan...”  Demikian kata batinku dengan bangga sembari menepuk-nepuk pundaknya.
Sementara orang di depanku yang barusan kutepuk-tepuk pundaknya itu mendongakkan kepala sembari tersenyum... bego...

***

Nunggu bis di Simpang Pematang, 17 Februari 2012, 9.55 WIB
Untunglah kali ini aku sedang tidak lupa dan  tidak sibuk,  untuk sekedar  mencatat cerpen ini di buku harian yang selalu tersimpan rapi di dalam tas bututku ini... he..he..he..
CATATAN :
Simbok            : (bhs Jawa) ibu
To Istri n anak-anak, ayah masih waras kok...
Trims to mbk Am n mbk Anyun atas editan n ide segarnya...

Intermezo




WARAS
By RH


Mungkin sudah ratusan kilometer atau bahkan mungkin sudah ribuan kilometer aku berjalan menyusuri jalanan. Entahlah, aku...  aku tidak sempat untuk mencatatnya dalam buku harian yang selalu tersimpan rapi di dalam tas punggung bututku.
Aku merasa... jalanan ini tiada berujung, tiada berpangkal...
Dari jauhnya perjalanan yang telah kutempuh, banyak cerita, manusia  dan pengalaman yang pernah kujumpai.

Suatu hari, disiang yang terik. Aku berjalan menyusuri  jalan aspal yang agak ramai oleh lalu lalang kendaraan. Mengingat panas yang terik, kupercepat jalanku. Di depan nampak sebuah mobil mewah warna hitam yang searah denganku. Namun jalannya lebih lambat dari langkah kakiku. Jika beradu cepat, kecepatannya tidak mungkin mampu menandingi langkahku. Mungkin pengemudinya berfikir, dengan melambatkan kendaraannya ia akan dapat menghemat bahan bakar.  Aku sudah tahu bahwa orang kaya itu pengiritan dari hanya dari caranya mengendarai mobil saja.
“Huh... dasar orang kaya yang miskin! Beli mobil mampu, tapi beli minyak pengiritan!” omelku ketika itu.
Mereka membeli ‘minum’ untuk mobilnya dengan menyerobot jatah orang kurang mampu. Akibatnya, premium bersubsidi kian langka! Jikalau ada, harganya pun bukan harga bersubsidi lagi.
Atau memang demikiankah caranya? Dengan pengiritan bahkan nyaris mendekati medit, maka  orang akan bisa menjadi kaya raya?!
Ketika aku tepat berada di samping mobil itu, seseorang di dalam mobil mewah itu membuka jendela, kemudian melemparkan sesuatu yang hampir mengenai wajahku.
“Kurang asem...! dasar orang kaya gila...!” makiku tak karuan.
Seolah tak mendengar makianku, mobil itu tetap melaju dengan santainya.
Tanpa ragu, kupungut kantong plastik yang dibuang orang kaya itu. Siapa tahu kantong plastik itu berisi emas atau berlian, atau berisi harta karun yang memang sudah tak dibutuhkannya lagi.
Perlahan, kubuka kantong itu dengan hati-hati. Ternyata di dalamnya hanya berisi sampah dan  botol bekas air mineral.
“Dasar orang kaya goblok...! inikan bisa jadi duit...!” batinku dengan tersenyum licik seraya memasukkannya ke dalam tas punggungku.
Dihari yang lain pernah kujumpai seorang ibu yang memukuli anaknya menggunakan sapu. Anak itu menangis sejadi-jadinya. Entah sumpah serapah, caci maki dan omelan apa yang keluar dari mulut ibu itu... aku juga tidak sempat mencatat semuanya. Aku masih terlalu sibuk.
“Anak enggak bisa diatur...! kerjaannya cuma bisa main saja...! tidak bisa disuruh! rugi emak ngelahirin kamu...!” cerocos mulut ibu itu sembari tangannya tak henti mengayunkan sapu memukuli anak perempuan yang menurut taksiranku mungkin masih berusia enam tahunan.
“Dasar ibu edan...! banyak orang bertahun-tahun berkeluarga, tapi tidak dipercaya oleh Tuhan untuk mendapatkan anak... tapi ibu ini malah gak kepingin punya anak...!” batinku sambil geleng-geleng kepala.
“Banyak keluarga yang mendamba kehadiran seorang anak, hingga rela melakukan apa saja. Bahkan menyambangi dukun cabul sekalipun... tapi ibu itu? Dia malah mengharapkan kehadiran seorang babu!”
“Anak seusia itu, memang masih sewajarnya senang bermain. Ia masih dalam masa bersosialisasi dengan lingkungannya...” Batinku menyalahkan ibu itu lagi.
“Awas kamu bu... kalau dalam perjalananku nanti  aku bertemu dengan Kak Seto atau Bang Aris, akan kuadukan kejadian ini kepada mereka. Biar tahu rasa kamu!” gumamku sembari tersenyum bengis.
Dihari yang lainnya lagi, aku masih tetap menyusuri jalanan yang rasa-rasanya kemarin pernah kulalui.
“Duk..!” jantungku serasa berhenti berdetak. Nadiku seakan istirahat berdenyut.
Dari lawan arah kulihat sebuah mobil patroli polisi yang berjalan agak melambat.
Secara reflek langkahku juga jadi melambat... gerakan ilalang juga ikut melambat... gerak pepohonan juga ikut-ikutan melambat... semisal gerak lambat dalam sebuah film kungfu. Semuanya serba slow motion.
“Seeeettt...” Sempat kulirik mobil itu, juga dengan gerakan ekor mata yang lambat. Seketika kututupi wajahku dengan ‘sisir lima jariku’. Aku takut apabila ternyata di dalamnya ada orang yang mengenaliku. Aku takut apabila ternyata di dalamnya ada segerombolan pasukan yang ingin menangkapku. Karena mengingat kesibukanku selama ini,  aku belum sempat mencukur kumis dan jenggotku. Sekilas aku pernah melihat, dalam sebentuk gambar dan tulisan yang dipaku di sebuah pohon tak berdosa. Di situ tertulis  tentang buronan teroris dengan gambar yang rada-rada mirip denganku. Rambut gimbal semrawut, kumis lebat, serta jenggot panjang tak terurus.
Tapi aku patut bersyukur dan bernafas lega, karena  setelah mandi kemarin pagi, aku masih sempat menyisir rambutku menggunakan sisir cap lima jariku, memborehkan daun pandan di kedua ketiakku agar harum mewangi, megusapkan sedikit ludah pada jambul rambutku agar tampak trendi, sedangkan kumis dan  jenggotku? Sebenarnya bukannya tak rapi, akan tetapi hanya sekedar tumbuhnya saja yang aku rasa tak beraturan.
Dan ternyata, kekhawatiranku sedari tadi memang tak terbukti.  Di dalam mobil polisi itu tidak ada sepasukan yang akan menangkapku. Di belakang kemudi duduk seorang pria ber-uniform polisi nampak asyik mengemudi. Tangan kiri memegang kemudi, sementara telapak tangan kanan menutupi telinganya sembari  bicara dan tertawa-tawa sendiri.
“Dasar polisi gemblung...! ngomong sendiri, tertawa sendiri...! kalau ada yang ketabrak bisa nyusahin suster rumah sakit tau..!” ejekku kepada polisi itu.
Namun tetap saja polisi itu berlalu tanpa mempedulikan aku.
Dilain kesempatan, pernah kutemui beberapa orang yang mengendarai sepeda motor dengan ugal-ugalan. Tanpa helm mereka berkendara seolah menjadi penguasa jalanan.
“Dasar orang sinting...!” caciku, tentu saja setelah mereka berlalu.
Aku yang tidak pernah kuliahpun tahu, jalan ini bukanlah milik moyang mereka. Kerasnya kepala merekapun tidaklah lebih keras dari aspal.
Tapi mereka berlaku seolah aspal ini adalah kasur.
Cuek aku bergumam, “biar mereka mati celaka, penggali kubur biar tidak nganggur...”
Mungkin mereka lupa atau orang tuanya tidak pernah mengingatkan, bahwa motor yang mereka kendarai belumlah lunas cicilan kreditnya.
Indonesia... Indonesia..., sudah sekian puluh tahun merdeka... tapi warganya masih mau saja dijajah bangsa lain. Rugi para pahlawan mengorbankan nyawa karena jasanya hanya diingat saat tujuh belasan saja.
Orang-orang itu tiap hari kerja keras banting tulang. Mereka mencari uang hanya untuk memiliki kendaraan buatan bangsa lain,  yang aku yakin bila dijual lagi nilainya pasti takkan mungkin bertambah mahal.
Mendingan seperti aku, berjalan kaki ke mana-mana. Badanku jadi sehat. “Tidak gampang mati mendadak dengan memegangi dada seperti yang dialami kebanyakan orang kaya.”
Sebenarnya kekhawatiranku mengenai kecelakaan lalu lintas cukup beralasan. Aku pernah melihat seorang pemuda meregang nyawa. Kepalanya pecah terbentur ujung trotoar. Ia terkapar di pinggir jalan dekat sebuah halte taman.
Pemuda jangkung itu tertabrak sebuah truk barang setelah ia menyelamatkan seorang anak kecil yang terjatuh di tengah jalan. Sungguh pengorbanan yang teramat besar. Seseorang yang mau mengorbankan nyawa demi menyelamatkan nyawa yang lainnya. Ironisnya... tidak ada seorangpun yang tergerak hatinya untuk berusaha menyelamatkan nyawa pemuda jangkung itu. Aku rasa saat ini sangat jarang orang Indonesia yang berjiwa seperti pemuda itu. Aku menundukkan kepala untuk pemuda itu...
Cobaa... di negara ini tidak usah ada kendaraan...
Dihari yang lain dan lainnya lagi aku masih tetap berjalan...
Pernah aku dikejar-kejar anak-anak yang mungkin lagi bolos sekolah. Mereka mengata-ngatai bahwa aku orang  gila.
“Pergi semuaaa...!” usirku.
“Dasar anak tak beradab... sekolah mahal-mahal tak pernah diajari tata krama...!” teriakku lagi sembari meludahi mereka.
Tapi bukannya lari, mereka malah melempariku dengan kayu,  kerikil dan batu. Tidak ada satupun anak yang melempariku dengan uang!
“Bocah edaan...! kerjaannya mengganggu orang waras saja!” umpatku.
Memang sekolah zaman sekarang sudah kehilangan ruhnya..., guru mengajar murid hanya untuk mengejar target nilai akademis saja. Yang penting murid lulus 100%. Apapun dan bagaimanapun caranya. Setelah luluspun, ternyata ijazah yang mereka dapat masih diragukan keabsahannya. Buktinya apabila mereka ingin melanjutkan sekolah, maka ijazah itu harus dilegalisasi. Padahal ijazah itu nota benenya dikeluarkan oleh sistem pendidikan juga... kasihan nasib mereka... pemuda generasi penerus bangsa...
Dihari yang lain dan lain dan lainnya lagi, kujumpai beberapa ibu-ibu muda dan setengah baya. Jumlah mereka sekitar enam atau tujuh orang, kali ini kusempatkan menghitungnya. Diantara mereka ada yang cantik, setengah cantik dan setengah hancur. Mereka duduk berbaris rapi laksana orang yang menunggu giliran untuk mendapatkan jatah Bantuan Langsung Tunai. Yang duduk di belakang  menyibak-nyibakkan rambut perempuan di depannya, perempuan yang di depannya menyibak-nyibakkan lagi rambut perempuan di depannya lagi, demikian seterusnya. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dicari-cari pada kepala temannya dan kurasa tidak mungkin mereka mencari sebongkah emas di sana. Secara samar aku sempat mendengar percakapan mereka... ternyata mereka sedang membicarakan aib suami tetangga yang tidak ikut nimbrung dalam barisan mereka.
Sejurus kemudian pembicaraan mereka beralih menghujat Tuhan yang setiap hari hanya memberi sedikit rezeki kepada suami-suami mereka. Kadangkala mereka tertawa-tawa ketika disela obrolan mereka terselip cerita-cerita jorok yang hanya patut diketahui diri mereka sendiri dan suaminya...
“Huuh... Dasar perempuan-perempuan kurang kerjaan! Pantas saja Indonesia tidak lekas maju! Dari pada bergunjing, mendingan mereka lebih memperhatikan keluarganya... mendidik anak laki-laki agar tidak terjerumus narkoba, mendidik anak-anak perempuan agar tidak terjerumus ke lembah nista, memberikan kasih sayang kepada suami agar sang suami tidak mencari kasih sayang di tempat lain, atau membuat sesuatu yang bisa jadi duit, agar suaminya tidak jadi maling atau koruptor, dan agar mereka tidak menghujat Tuhan lagi...!” omelku dengan sinis.
“Apa mereka tidak sadar, suara mereka sudah mengganggu tidur siang orang lain?” omelku lagi lantas menjauh mencari tempat untuk tidur.
Dilain kesempatan pernah aku menjumpai beberapa pria yang duduk melingkar di sebuah pos ronda. Mereka nampak serius memelototi lembaran-lembaran kertas kecil yang ada di tangan mereka. Sementara beberapa lembar kertas kecil yang lain nampak bertebaran di tengah mereka ditingkahi beberapa lembar uang yang ada di antaranya. Kadang kala terdengar teriakan senang yang keluar dari mulut salah seorang di antara mereka. Kadang kala yang lain, terdengar teriakan kecewa.
Hmm.. salah satu di antara para pria itu rasanya aku pernah melihatnya... ya... aku rasa aku mengenalnya...  
“Oh iya! Polisi itu... pasti tidak salah! polisi yang sakit kuping itu!” teriakku dalam hati sembari menutupi muka dengan sisir lima jariku.
Dari antara sela-sela jari kuintip lagi pria itu, sekedar meyakinkan diri. Ternyata memang wajahnya tidak berubah, dia si polisi yang sakit kuping itu.
Kenapa dia ada di sini? Bukankah seharusnya ia menggelandang  para penjudi itu ke tahanan? Ataukah ruangan penjara sudah terlalu penuh sesak terisi para koruptor, sehingga golongan para penjudi tidak muat lagi untuk ikut masuk ke dalamnya?
Ah... aku tahu... mungkin polisi itu lagi menyaru. Mungkin ia masih melaksanakan tugas dari atasannya untuk menangkap koruptor atau gembong teroris?
Kali ini tanpa komentar apapun aku berlalu... menyingkir menghindari polisi itu.
Pagi ini aku sedang sedang libur dari perjalananku. Aku beristirahat di dalam gerbong kereta yang sudah lama tak difungsikan. Bias cahaya mentari belum genap membentuk sudut sempurna dari balik jendela.
“Haaaah... pagi yang ceria untuk bermalas-malasan.”
“Sekali-kali, perlu juga aku memanjakan diri agar kondisi tubuhku tetap sehat,” batinku.
Namun pagiku yang cerah ini tak berlangsung lama. Di luar terdengar suara gaduh. Suara ribut itu seperti berasal dari balik tembok pagar stasiun ini.
Dengan penuh rasa penasaran aku naik ke atas gerbong untuk melihat keadaan di balik pagar.
“Ada apa ini... apa yang kalian lakukan pada anakku...!” bentak seorang perempuan kurus dengan suara parau.
“Minggir kamu! Kami harus membawa anakmu. Dia mengganggu ketertiban umum!” hardik salah seorang berseragam.
“Anakku bukan pencuri...! anakku bukan koruptor...!  Dia hanya mencari uang halal untuk makan kami...! Jangan bawa anakku...!“ perempuan kurus bersuara parau itu kalap sambil memukuli orang-orang berseragam dengan menggunakan galah di tangannya.
Namun apalah daya seorang perempuan kurus dibanding lelaki berseragam.
“Diam...! minggir kamu...!” berkata demikian seorang berseragam sembari mendorong perempuan kurus itu dan kemudian mencengkeram tangan seorang anak kecil yang tadi berlindung di balik badan perempuan kurus itu.
Akibatnya perempuan kurus itu terjatuh ke dalam sungai... dengan tanpa suara, tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan... tidak ada seorangpun yang mencoba menolongnya.
“Simboook...!” teriak anak kecil dalam cengkeraman lelaki berseragam itu dengan pilu.
Ia berusaha melepaskan diri.
“Manusia-manusia biadab! tak berperikemanusiaan, hanya berani kepada wanita dan anak-anak!” batinku.

***

Aku sungguh merasa heran dengan tingkah polah orang-orang yang pernah kujumpai, mereka selalu menyebutku kurang waras. Padahal bagiku, sebenarnya orang-orang yang pernah kujumpai itulah yang benar-benar sinting. Aku tidak gila... aku masih waras...  aku masih ingat bagaimana caranya mandi... batu kali kujadikan sabun, daun pandan kujadikan minyak wangi... rambutku selalu rapi dengan sisir cap lima jari... jambul selalu kutegakkan dengan sedikit ludah... hanya kumis dan jenggotku saja yang belum sempat kucukur karena saat itu aku masih terlalu sibuk... sibuk menyusuri jalanan...
Tapi mengapa orang-orang itu tega mengurungku di dalam ruangan pengap ini ya...? apa salah dan dosaku?

Dasar orang-orang stress... kurang waras!

            “Hmmm... tapi dengan mereka mengurungku di sini, aku jadi tidak sesibuk dulu lagi. Aku jadi punya kesempatan untuk menuliskan kisah perjalananku... aku jadi punya banyak waktu untuk sekedar mengingat-ingat siapakah namaku...”
“Mungkin Rido, teman satu kamarku ini bisa membantu... dia nampak seperti orang kuliahan...”  Demikian kata batinku dengan bangga sembari menepuk-nepuk pundaknya.
Sementara orang di depanku yang barusan kutepuk-tepuk pundaknya itu mendongakkan kepala sembari tersenyum... bego...

***

Nunggu bis di Simpang Pematang, 17 Februari 2012, 9.55 WIB
Untunglah kali ini aku sedang tidak lupa dan  tidak sibuk,  untuk sekedar  mencatat cerpen ini di buku harian yang selalu tersimpan rapi di dalam tas bututku ini... he..he..he..
CATATAN :
Simbok            : (bhs Jawa) ibu
To Istri n anak-anak, ayah masih waras kok...
Trims to mbk Am n mbk Anyun atas editan n ide segarnya...